Pesan yang terdapat dalam adegan-adegan film akan membekas dalam jiwa penonton. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis. Para penonton pasti akan terus mengingat pesan moral dalam film ini. Bagaimana nilai moral dan tanggung jawab menjadi urusan belakangan karena lebih takut dengan hukum adat. Apalagi hukum yang dihadapi dari orangtua kita sendiri yang pada realitanya juga merupakan sosok kepala suku atau orang yang dituakan.
Sebagai seorang lelaki, Kawanua mengalami pergulatan konflik batin karena mengabaikan sikap tanggung jawabnya. Kecemasan sikap timbul karena Ia sebagai seorang anak kepala adat harus menanggung malu pada harga diri orangtuanya yang memiliki jabatan pada adat istiadat. Bahkan, Ia pun belum siap untuk diusir dari kampungnya akibat ulahnya dengan Binaiya yang menyalahi norma adat istiadat.
Di lain sisi, Sosok Saras juga diceritakan lari dari kenyataan karena telah menggugurkan kandungannya sebagai akibat dari ulah kekasihnya yang juga tak mau bertanggung jawab. Semua beralasan belum siap menerima kenyataan, padahal mereka sendiri yang berbuat. Tak peduli reputasi dan citra diri, apapun tersaji dan akan terhakimi di kemudian hari.
Cinta itu Beban. Frase dalam film ini memang bicara tentang problema hamil di luar nikah yang menjadi tema menyentuh kalbu setiap penonton. Film ini mengemas tanpa harus mengungkap kesedihan yang berulang. Penyesalan pasti ada dan selalu datang belakangan. Semua masalah hadir bukan untuk dijadikan beban, melainkan dicari solusi kepastian.
Film ini memberi filosofi tentang perjalanan hidup. Aku pun terkesima dengan adegan flashback yang begitu sempurna dan beda dari film-film lainnya. Sutradara, Pritagita Arianegara menggarapnya dengan narasi dialog yang berisi.
Film yang diproduksi sejak tahun 2016 ini, tak menonjolkan adegan belas kasihan. Aku begitu menikmati film ini dari awal dengan interaksi yang menghasilkan relasi-relasi penuh makna tentang harga diri seorang lelaki dan perempuan dalam batas tanggung jawabnya masing-masing.
Kepulauan Seram yang berada di Maluku, bagian Indonesia timur tersajikan begitu menawan. Pesisir pantai, laut, dan diorama bawah laut tersaji begitu halus mengisi rangkaian gambar-gambar bergerak sepanjang film. Wajar saja jika Faozan Rizal mendapat piala citra untuk pengarah sinematografi terbaik tahun 2016 silam.
Untung saja film Salawaku yang meraih Piala Dewantara kategori Film Cerita Panjang Bioskop dalam Apresiasi Film Indonesia 2016 tidak ada iklan yang sering kali bermunculan dalam film dengan orientasi komersil. Namun, Film Salawaku mampu membuat promosi Indonesia secara cerdas karena tidak sedang berjualan produk. Bagiku, film Salawaku bercerita tentang mempromosikan Indonesia dengan segala isinya. Aku bisa mengatakan kepada kalian yang belum menonton 'Lihatlah film Salawaku yang diproduksi di Indonesia dan lihatlah apa makna yang terkandung didalamnya, lihatlah talenta apa yang dimiliki, dan lihatlah bagaimana Indonesia memiliki potensi pariwisata yang hebat'. Aku bangga menonton film ini*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H