Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Humanis untuk Semua Manusia

29 Mei 2016   23:05 Diperbarui: 29 Mei 2016   23:46 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

”Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”. Petuah bijak ini hanya salah satu dari sekian banyak petuah yang seringkali diungkapkan oleh orang tua kita dahulu. Kesadaran mereka akan penting nilai pendidikan dibandingkan dengan hal-hal lain sepatutnya kita junjung tinggi. Kondisi demikian membutuhkan suatu proses yang berkaitan dengan dimensi realitas dan dimensi masa (waktu).

Dulu, masyarakat beranggapan bahwa “semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pembiayaan yang harus mereka keluarkan”. Padahal, opini seperti itu hanya alasan bagi pandangan mereka untuk tidak memprioritaskan pendidikan dalam kehidupan. Jika kita lihat pada kenyataan, proses pendidikan yang ada telah diperuntukkan bagi siapa saja, tanpa mengenal diskriminasi terhadap SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Pihak Pemerintah seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah memberikan perhatian khusus melalui pemberian subsidi untuk seluruh jenjang pendidikan terkini. Jadi, sudah tak ada lagi alasan yang dapat dikemukakan orangtua untuk mengabaikan dunia pendidikan bagi anak-anak tercintanya.

Pendidikan itu proses pengembangan diri. Suatu proses yang dapat membina nilai-nilai kehidupan menjadi unsur tata kelakuan yang terpuji. Namun, proses pendidikan yang kita hadapi terkadang tidak terlaksana secara efektif dan efisien. Seringkali, ditemukan aspek-aspek pendidikan yang terkesan dilematis dan membutuhkan pelaksanaan pendidikan alternatif yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak.

Saya teringat akan perkataan Bung Karno, “untuk mengubah suatu bangsa, maka ubahlah sistem pendidikannya karena pendidikan adalah tiang untuk kekokohan suatu bangsa.”

Bangsa yang cerdas, bermartabat, berdaya saing, dan berbudi pekerti luhur adalah idaman pendidikan kita. Ini menjadi harga mati yang tak bisa ditawar oleh pemangku kebijakan pendidikan. Kondisi demikian juga merupakan wasiat para bapak bangsa yang harus direalisasikan oleh generasi penerus. Salah satu bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa dalam pendidikan akan terjadi proses humanisasi, pembukaan wawasan, dan cakrawala sehingga hasilnya tidak picik dan kerdil. Pendidikan akan membawa manusia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir sifat alami kemanusiaan.

Jika melihat fenomena sistem pendidikan kita hari ini, tampak gambaran cita-cita para bapak bangsa terdahulu sulit untuk tersirat. Dengan kata lain, jangankan merealisasikan wasiat mulia para bapak bangsa, sistem pendidikan kita hari ini masih menciptakan kebodohan dan penjajahan model baru.

Pertama, paradigma pendidikan didasarkan pada ideologi sekular, yang bertujuan sekedar membentuk manusia-manusia berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakat, individualistik dalam interaksi sosial, serta sinkretistik dalam agama. Ideologi ini menjadikan sistem pendidikan yang dijalankan sebatas membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error serta menjadikan peserta didik bagai kerinci percobaan.

Kedua, kerusakan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni: (1) lembaga pendidikan formal yang lemah; tercermin dari guru dan lingkungan sekolah atau kampus sebagai medium pendidikan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.

Ibarat tak ada gading yang tak retak. Inilah pepatah yang mewakili sistem pendidikan kita yang berwajah tak sempurna. Kita harus sadar diri bahwa masih banyak permasalahan pendidikan terkait dengan prioritas yang masih jauh dari harapan. Semua itu merupakan indikasi tak ada lagi nilai-nilai dan karakter dari Pancasila yang seharusnya berperan menghasilkan manusia yang tidak hanya rasional tapi juga berbudi luhur.

Jika kita telaah secara mendalam, baik buruknya sistem pendidikan nasional lebih banyak disebabkan adanya solusi yang ditawarkan oleh para pengambil kebijakan (stakeholders) yang bersifat instan, tidak holistik, dan tidak direncanakan secara matang sehingga beban masalah tak kunjung usai. Sudah seharusnya, guru atau dosen berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dan berfungsi ganda dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality). Lingkungan fisik sekolah atau kampus pun harus menata dan merekondisi kembali budaya-budaya yang sesuai dengan filosofi Tut Wuri Handayani yang bisa memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik demi tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.

Sudah sewajarnya, kita menerapkan konsep pendidikan yang jujur agar menjadi falsafah integral dari proses pendidikan yang tak dapat ditawar. Diharapkan kerja sama yang baik dengan orang tua dan stakeholder sekolah atau kampus agar rona konsep kejujuran pelaksanaan pendidikan alternatif bisa menjadi harga diri dari sistem pendidikan itu sendiri. Hal tersebut mampu diwujudkan sebagai partisipasi kolaboratif dalam setiap pendidikan alternatif. Berarti, dedikasi dan optimisme para pendidik terhadap kesuksesan peserta didik harus tetap tercermin dalam setiap proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, guru di Indonesia harus mampu memberikan teladan yang baik bagi anak bangsa agar di hari depan kelak mereka dapat memimpin bangsa secara dewasa, jujur, dan bertanggung jawab. Keberhasilan pendidikan tidak hanya berupa hasil angka-angka di atas kertas, tapi harus diukur pula dari segi moralitas orang yang mendidik dan dididik.

Perilaku yang dapat diubah atau diperankan adalah perilaku yang dilakukan untuk menyesuaikan dengan harapan. Tiada kata terlambat untuk belajar mengenal, memahami, dan mengamalkan suatu hal yang bermanfaat bagi kita dan orang lain. Hal ini dikarenakan pendidikan tak boleh terbatas pada sekedar transfer pengetahuan dan keahlian fungsional. Tak kalah penting adalah pengembangan jati diri dan kemampuan menularkan nilai dasar bersama (kesalehan sosial), seperti kejujuran, keadilan, kerja keras, kesederhanaan, dan kebersamaan.

Konsep pendidikan untuk semesta harus mampu menumbuhkan sikap toleransi dan kedamaian dalam alam pikiran setiap peserta didik. Caranya, pendidikan harus meluaskan cakrawala peserta didik melihat sesuatu kebenaran dari berbagai perspektif. Sebab, dalam teori keilmuan, apa yang dianggap benar hari ini, besok, atau lusa, belum tentu benar karena mungkin ada teori atau pandangan baru yang menggugurkannya. Jadi, kebenaran itu bukanlah milik seseorang atau kelompok, dan kebenaran itu tidak statis sehingga tidak ada alasan bagi seseorang menganggap bahwa dirinya yang paling benar dan orang lain atau kelompok lain salah. Untuk sampai pada pemahaman seperti itu, diperlukan lingkungan pendidikan yang berkualitas yang dapat menstimulasi alam pikiran peserta didik untuk bersikap dan berperilaku damai serta toleran terhadap perbedaan.

Peserta didik harus terlatih melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang sehingga ia bisa memahami perbedaan. Peserta didik harus terlatih menyelaraskan antara apa yang dipikirkan, apa yang dituturkan, dan apa yang dilakukan. Peserta didik harus terlatih belajar mandiri dan berkelompok dengan peserta didik lain meski berbeda latar belakang sosial, etnik, budaya, atau agama. Ingat, kita tidak bisa mengubah asal kita, tapi kita bisa mengubah pola pikir kita.

Semoga kebijakan pendidikan diskriminatif di masa lampau yang kini melahirkan kesenjangan sosial, marginalisasi, dan kemiskinan sebagai pangkal gerakan fundamentalisme dan radikalisme tidak akan pernah terulang dalam perjalanan sejarah bangsa ini di masa depan. Hal ini dikarenakan konsep gerakan pendidikan sebagai gerakan semesta akan berlangsung demi harga diri Bangsa Indonesia di mata dunia.

Maju terus pendidikan Indonesia. Perjalanan mencapai tujuan tidak boleh padam. Pendidikan itu proses seumur hidup. Jangan sampai ada lagi situasi sulit dan membingungkan yang terkadang membuat jiwa peserta didik galau, apalagi selalu bawa perasaan. Aku, kamu, dan kalian adalah satu untuk pelaksanaan konsep pendidikan yang lebih humanis sebagai gerakan untuk semesta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun