Mohon tunggu...
Achmad Hidir
Achmad Hidir Mohon Tunggu... -

Pengagum para filsuf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wanita atau Perempuan?

8 Mei 2017   07:09 Diperbarui: 8 Mei 2017   09:08 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Tumpang Tindih Konsep Wanita Atau Perempuan.

Satu keunikan dalam bahasa Indonesia tampaknya  seringkali terjadi tumpang-tindih antara penggunaan konsep wanita dan perempuan. Untuk  konsep wanita di Indonesia  selalu dikontraskan dengan pasangannya yaitu  pria.  Sedang untuk konsep perempuan dikontraskan dengan konsep laki-laki. Maka muncullah konsep pria dan wanita atau laki-laki dan perempuan. Belum lagi di kalangan remajapun muncul pula konsep lain yang sering pula kita dengar, yaitu kontras antara cowok dan cewek.

Dalam tulisan ini tidaklah hendak membahas kedua konsep itu, namun ada satu perubahan fenomena menarik, di mana sekarang ini konsep wanita oleh pemerintah telah diubah dan lebih diarahkan untuk penggunaan pada konsep perempuan. Walaupun (setahu saya) tidak ada aturan resmi akan perubahan konsep ini oleh pemerintah. Namun pemerintah dengan political willnya telah merubah konsep ini dalam berbagai aksi dan kegiatannya. Sebut misalnya; dulu zaman Orde Baru dikenal adanya Menteri Negara Urusan Peranan Wanita kini telah diubah menjadi Menteri Negera Pemberdayaan Perempuan. Belum lagi dalam berbagai event seminar yang bertemakan kesetaraan jender selalu mengambil tema dengan topik bahasan tentang dunia     “ kepe-rempuan-an “ nya bukan lagi menggunakan konsep “ ke –wanita-an” nya. Karena sebagian orang menganggap bahwa konsep “kewanitaan”-nya itu  dianggap agak kurang sopan. Pada hal entah di mana letak ketidaksopanannya itu,  atau mungkin juga letak ketidak-sopanannya itu karena orang selalu berfikir pada organ intim kewanitaannya itu. 

Namun paling tidak, menurut beberapa ahli sosiologi jender dan juga bahasa serta pemerintah, konon  konsep wanita itu kini sudah harus diganti karena dianggap terlalu merendahkan kaum perempuan. Konsep wanita sendiri, kelihatannya diambil dariKirata Basa dalam bahasa Jawa.Kirata adalah suatu akronim dari Dikira-kira tapi nyata dan basa memiliki arti adalah bahasa. Jadi Kirata Basa, adalah bahasa yang dikira-kira tapi tampaknya memiliki arti yang nyata. Konsep gurudalam kirata basamemiliki artidigugu dan ditiru, konsep  wariamemiliki arti; wanita pria dan akhirnya untuk konsep wanita;memiliki artiwani di tata. Wani memiliki arti berani. Berani yang memiliki arti  untuk suatu keharusan mau diatur atau ditata oleh lawan jenisnya yang bernama pria. Dengan demikian untuk konsep wanita seolah-olah mahluk ini telah dikondisikan sebagai mahluk yang tersubordinasi yang harus mau diatur oleh laki-laki.

Maka konsep wanita menurut banyak kalangan sebaiknya kini diubah menjadi konsep per-empu-an.. suatu kata yang memiliki kata dasar empu. Empu sendiri memiliki arti; ibu, induk, atu pangkal. Dengan demikian per-empu-an, memiliki arti lebih terhormat sebagai induk kehidupan atau pangkal kehidupan. (Hersri,1981) Selain itu juga kata empusering juga untuk menjelaskan pada seseorang yang memiliki keahlian khusus, seperti misalnya Mpu Tantular, Mpu Gandring, Mpu Sendok dan lain sebagainya yang terkenal memiliki keahlian khusus di zamannya yang tidak semua orang mampu melakukannya.

Namun demikian kelihatannya perubahan konsep ini tidak semua orang mengerti, tahu dan memahaminya, hal ini terlihat bahwa masih banyak di dalam masyarakat kita masih tetap menggunakan dan mensubsitusikan antar kedua konsep ini, sehingga terkesan menjadi tumpang-tindih.

2. Eksploitasi Perempuan atas Perempuan.

Diakui atau tidak, gerakan emansipasi perempuan sebenarnya banyak diadopsi daeri teori-teori barat, yang terkadang sebenarnya tidak seluruhnya cocok untuk digunakan dalam konteks budaya Indonesia. Hal itu wajar, karena ketika gerakan emansipasi bergema terutama di dataran Eropa,  ketika itu Eropa tengah mengalami masa transisi dari feodalisme ke arah kapitalisme.

Kaum perempuan yang selama itu, dikungkung oleh tradisi aristoktasi yang demikian kuat menginginkan kebebasan yang sama untuk berkiprah di sektor publik. Dalam konteks emansipasi di barat memang iklimnya demikian liberal, sehingga gerakan-gerakan feminis radikal yang Marxis sangat mendorong untuk emansipasi seperti ini. Tetapi untuk kasus Indonesia kelihatannya tidaklah seekstrim itu. Hal ini seperti dinyatakan oleh rekan penulis, seorang ahli sosiologi jender dari Universitas Brawijaya, yang ketika kembali dari mengikuti seminar di Belanda, dengan nyata-nyata di dalam forumnya ia menjelaskan bahwa gerakan emansipasi di Indonesia tidaklah akan menghilangkan kodrat perempuan yang berasal dari benua timur.

Dengan demikian,  perempuan Indonesia masih tetap mau menghargai  laki-laki sebagai suami sekaligus mitranya. Fenomena ini jadi cukup unik. Kenapa dikatakan cukup unik ?.  Karena ditengah gencarnya tuntutan akan hak-hak perempuan,  kaum perempuan Indonesia secara umum masih menjadi kaum yang termarjinalkan, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Perempuan masih dituntut untuk menjalankan tugas-tugas domestik, selain pencari nafkah. Tugas domestik sebenarnya suatu tugas yang mulia, namun karena secara ekonomi tidak ada nilainya, maka tugas ini menjadi tidak ada harganya.

Kendatipun seiring dengan itu, kini kaum perempuan Indonesia sudah banyak yang mampu berpendidikan tinggi, berkiprah di sektor publik. Maka konsekuensinya, tugas domestiknya kini diserahkan pada orang lain yang biasanya adalah pembantu rumah tangga. Dalam kenyataannya pembantu rumah tangga ini yang juga nota bene  adalah perempuan  seringkali pula tidak dilindungi oleh Undang-Undang dan rawan pada eksploitasi, pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan serta tidak ada jaminan sosial. Bukti-bukti banyak menunjukkan keberadaan pembantu rumah tangga seringkali dijadikan sapi perah oleh majikan, penghargaan dan perlindungan terhadapnya sama sekali kurang bahkan cenderung tidak ada. Bukti  terakhir misalnya, TKW Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga  di Malaysia mengalami penyiksaan dan dengan upah yang sangat kecil (Kompas 9 Maret 2003).

Nyatalah bahwa keinginan untuk merubah hidup dari dorongan budaya kapitalisme yang marak sekarang ini bagi sebagian perempuan kita, telah menjebak mereka pada situasi yang kurang menguntungkan. Mereka karena kualitas SDMnya yang rendah menjadi mudah tertipu, tereksploitasi,  dan menjadi obyek traffickingdari sindikat perdagangan perempuan. Anehnya calo dan pencari mangsa serta mucikari untuk penjualan perempuan ini, seringkali pula berjenis kelamin perempuan juga.

Selain itu, acapkali perempuan karena dianggap kodratnya sebagai  “pelayan“, kini menjadi ladang sumber pendapatan baru bagi sebagian masyarakat. Iklan penyediaan dan penyaluran pembantu rumah tangga, baby sitter,dan layanan pijat antar-jemput yang berkedok yayasan yang  menggunakan jasa perempuan kini marak di berbagai media massa. Selain itu perempuan karena dianggap memiliki keluguannya, seringkali pula dijadikan sarana untuk distribusi pengedaran barang-barang terlarang seperti narkoba.

Sisi penting keterlibatan ekonomi kaum perempuan sebenarnya sudah lama diakui, namun tidak terangkat kepermukaan. Bahkan sejak krisis moneter dan banyaknya PHK, telah menyebabkan kaum perempuan masuk ke dunia kerja menggantikan peran laki-laki (suami) mereka yang terkena PHK. Lebih ironis banyak dari mereka yang terjun menjadi PSK sebagai pilihan terakhir karena akses mereka sangat kecil terhadap dunia yang didesain terlalu memihak laki-laki. Pada hal potensi kaum perempuan tidaklah lemah, mereka kuat. Bahkan cukup kuat, di Bali kaum perempuan banyak yang bekerja sebagai kuli bangunan, pengaspal jalan. Bahkan menurut penelitian perempuan desa jam kerjanya rata-rata 11 jam perhari lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang hanya mencapai 8 jam perhari (Julia Suryakusuma, 1981).

Menurut Qomari Anwar mantan Rektor Uhamka Jakarta, pernah mengatakan dalam suatu acara di sebuah stasiun TV swasta bahwa aktivitas kaum perempuan desa dalam bekerja di rumah tangga, rata-rata menghabiskan enerji setara dengan berjalan kaki sepanjang 17 Km perhari. Pada hal mereka hanya berjalan berputar-putar di sekitar rumahnya saja.

Sekarang, Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak-hak dan penghapusan diskriminasi perempuan. Namun kenyataan masih belum menunjukkan keseriusan masyarakat dan pemerintah.  Perlindungan pada buruh perempuan (termasuk pembantu rumah tangga) dan hak-hak perempuan masih belum terealisasi dengan baik. Namun satu hal, satu langkah awal yang  baik 18 Februari 2003 lalu merupakan hari bersejarah bagi perempuan Indonesia, setelah bertahun-tahun memperjuangkan keterwakilan mereka dalam politik akhirnya membuahkan hasil berupa dicantumkannya di dalam politik Indonesia secara khusus perempuan sekurang-kurangnya 30 % bagi keterwakilan perempuan di dalam nominasi anggota DPR, DPR Provinsi dan DPR Kabupaten/Kota. Satu bukti bahwa kaum perempuan sudah mulai mampu mendobrak dominasi laki-laki.

Harus diakui keberhasilan kaum perempuan di satu sisi memberikan banyak perubahan pada kehidupan perempuan, namun di sisi lain eksploitasi atas diri mereka tampaknya belum juga akan berhenti. Maka akhirnya ada sinyalemen yang mengatakan bahwa; gerakan emansipasi perempuan, seringkali yang jadi korban justru perempuan juga. Buktikan bahwa itu tidak benar !.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun