Mohon tunggu...
Achmad Hidir
Achmad Hidir Mohon Tunggu... -

Pengagum para filsuf

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Wet Dream dan Manarche

28 April 2017   16:02 Diperbarui: 28 April 2017   16:12 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Seks secara fisik biologis antara perempuan dan laki-laki memang berbeda. Paling tidak, peralihan masa pubertas antara laki-laki dan perempuan dialami oleh masing-masing individu dengan cara dan pola yang berbeda. Laki-laki ditandai dengan adanya mimpi basah (wet dream) yang nyaris tidak ada perubahan dan kecemasan yang berarti secara psikologis bagi individu si laki-laki, dan itupun terjadi hanya beberapa menit saja di dalam mimpinya. Selanjutnya, kejadian itupun tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, sepanjang individu si laki-laki itu tidak bercerita tentang pengalamannya itu.

Berbeda dengan perempuan, terjadinya peralihan dari masa prapubertas ke masa pubertas dalam diri individu perempuan diawali dengan perubahan fisik yang sangat jelas dengan ditandai adanya menstruasi pertama yang berlangsung selama beberapa hari dan secara fisik biasanya akan diketahui pula oleh orang lain, terutama ibunya yang biasanya turut membantu dan memberi pengarahan tentang proses penanganan masalah tersebut.

 Anak perempuan yang  mengalami manarchebiasanya mengalami kecemasan dan malu terhadap lingkungan sekitarnya terutama keluarganya yang mengetahui dirinya telah mengalami menstruasi. Oleh sebab itu, banyak anak perempuan yang mengalami manarchebiasanya mengurung diri di rumah karena malu tentang perubahan dalam dirinya.

Dengan demikian, paling tidak, secara umum peralihan masa prapubertas ke masa pubertas dalam diri individu laki-laki tidak secemas dalam diri individu perempuan. Buktinya, dalam banyak budaya tradisional peralihan masa prapubertas ke pubertas yang dialami kaum perempuan yang  ditandai dengan manarcheituseringkali diadakan ritus peralihan (inisiasi).

 Upacara ini dianggap sebagai wujud pendewasaan kaum perempuan, namun adapula anggapan dalam budaya tertentu seperti yang terjadi di beberapa suku di daratan Afrika dan Papua  yang menganggap bahwa perempuan yang mengalami manarcheharus diasingkan karena dapat dianggap pembawa malapetaka bagi kelompoknya. Oleh sebab itu selama dalam pengasingannya, mereka tidak boleh bertemu dengan kelompoknya sebelum upacara ritual penolak bala selesai. Konon dalam budaya lain seperti yang terjadi si Kepulauan Samoa, seorang perempuan yang beranjak dewasa harus merelakan tubuhnya untuk dirajah (tatoo) atau bahkan di Bali sekalipun  dahulu seorang perempuan yang beranjak dewasa wajib mengikirgiginya sebagai ritus peralihan dari masa prapubertas ke alam kedewasaan yang baru.

Ritus peralihan yang dialami individu  perempuan secara nyata  dalam banyak budaya terkadang memang lebih rumit daripada yang dialami kaum laki-laki.  Dan dalam sejarahnya proses siklus reproduksi dalam diri perempuan itu selalu dipenuhi dengan mitos dan tabu yang terkadang banyak mengekang kebebasan diri perempuan. Hasil penelitian Hidir (2001) tentang mitos dan tabu hamil di kalangan masyarakat Melayu Kuantan Singingi menunjukkan bahwa akibat praktek tabu dan mitos yang mereka jalankan banyak perempuan miskin pedesaan  mengalami malnutrisi.

Seks secara fisik biologis antara perempuan dan laki-laki memang berbeda. Paling tidak, peralihan masa pubertas antara laki-laki dan perempuan dialami oleh masing-masing individu dengan cara dan pola yang berbeda. Laki-laki ditandai dengan adanya mimpi basah (wet dream) yang nyaris tidak ada perubahan dan kecemasan yang berarti secara psikologis bagi individu si laki-laki, dan itupun terjadi hanya beberapa menit saja di dalam mimpinya. Selanjutnya, kejadian itupun tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, sepanjang individu si laki-laki itu tidak bercerita tentang pengalamannya itu.

Berbeda dengan perempuan, terjadinya peralihan dari masa prapubertas ke masa pubertas dalam diri individu perempuan diawali dengan perubahan fisik yang sangat jelas dengan ditandai adanya menstruasi pertama yang berlangsung selama beberapa hari dan secara fisik biasanya akan diketahui pula oleh orang lain, terutama ibunya yang biasanya turut membantu dan memberi pengarahan tentang proses penanganan masalah tersebut.

 Anak perempuan yang  mengalami manarchebiasanya mengalami kecemasan dan malu terhadap lingkungan sekitarnya terutama keluarganya yang mengetahui dirinya telah mengalami menstruasi. Oleh sebab itu, banyak anak perempuan yang mengalami manarchebiasanya mengurung diri di rumah karena malu tentang perubahan dalam dirinya.

Dengan demikian, paling tidak, secara umum peralihan masa prapubertas ke masa pubertas dalam diri individu laki-laki tidak secemas dalam diri individu perempuan. Buktinya, dalam banyak budaya tradisional peralihan masa prapubertas ke pubertas yang dialami kaum perempuan yang  ditandai dengan manarcheituseringkali diadakan ritus peralihan (inisiasi).

 Upacara ini dianggap sebagai wujud pendewasaan kaum perempuan, namun adapula anggapan dalam budaya tertentu seperti yang terjadi di beberapa suku di daratan Afrika dan Papua  yang menganggap bahwa perempuan yang mengalami manarcheharus diasingkan karena dapat dianggap pembawa malapetaka bagi kelompoknya. Oleh sebab itu selama dalam pengasingannya, mereka tidak boleh bertemu dengan kelompoknya sebelum upacara ritual penolak bala selesai. Konon dalam budaya lain seperti yang terjadi si Kepulauan Samoa, seorang perempuan yang beranjak dewasa harus merelakan tubuhnya untuk dirajah (tatoo) atau bahkan di Bali sekalipun  dahulu seorang perempuan yang beranjak dewasa wajib mengikirgiginya sebagai ritus peralihan dari masa prapubertas ke alam kedewasaan yang baru.

Ritus peralihan yang dialami individu  perempuan secara nyata  dalam banyak budaya terkadang memang lebih rumit daripada yang dialami kaum laki-laki.  Dan dalam sejarahnya proses siklus reproduksi dalam diri perempuan itu selalu dipenuhi dengan mitos dan tabu yang terkadang banyak mengekang kebebasan diri perempuan. Hasil penelitian Hidir (2001) tentang mitos dan tabu hamil di kalangan masyarakat Melayu Kuantan Singingi menunjukkan bahwa akibat praktek tabu dan mitos yang mereka jalankan banyak perempuan miskin pedesaan  mengalami malnutrisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun