Belakangan ini, istilah "No Viral, No Justice" mulai santer dibicarakan oleh pakar/ahli hukum maupun para pengamat politik. Dalam terjemahannya, No Viral, No Justice (NVNJ) berarti tidak viral, tidak ada keadilan. Sederhananya, istilah tersebut muncul sebagai respon masyarakat di media sosial terhadap pilihan untuk mencari keadilan.
Berangkat dari perkembangan teknologi yang semakin pesat lalu merambat pada pola pikir masyarakat. Kian hari masyarakat tampak semakin bergantung pada media sosial seperti Instagram, Twitter dan TikTok dalam memperoleh segala informasi/berita/isu terkini. Hal ini yang menjadikan media sosial punya kekuatan atau pengaruh sosial yang sangat besar. Melalui berbagai konten yang dibuat, para penggunanya lebih bebas dan aktif untuk saling menanggapi dan memberi pendapat antar satu sama lain, bahkan tak jarang juga digunakan sebagai alat sindiran atau saling menghina.
Namun, bagaimana jika respon interaktif masyarakat berbondong-bondong untuk menyoroti persoalan keadilan dari pengambilan kebijakan atau sikap para penegak hukum? Hal tersebut dapat kita amati dari berbagai kasus/isu yang terjadi bekalangan ini. Kasus Vina Cirebon misalnya, seperti yang kita ketahui bersama kasus ini sudah terjadi sejak tahun 2016 silam, lalu ramai dibicarakan kembali pada tahun 2024. Terkuaknya berbagai fakta yang menggambarkan kecacatan para penegak hukum dalam menegakkan keadilan, berhasil memantik antusiasme masyarakat untuk mengusut dan mempertanyakan kasus tersebut melalui media sosial, hingga kasus tersebut viral di media sosial lalu ditinjau kembali oleh para penegak hukum, termasuk kepolisian.
Selain itu, terdapat juga kasus kematian Afif Maulana, anak 13 tahun yang diduga tewas disiksa polisi oleh para netizen. Pasca ditemukan pada Minggu (9/6/2024) silam, jenazah Afif yang ditemukan mengambang di sungai bawah Jembatan Kuranji, Kota Padang diperiksa oleh pihak kepolisian untuk diselidiki penyebab kematiannya. Berdasarkan hasil autopsi, kepolisian menyampaikan bahwa kematian Afif Maulana disebabkan karena tawuran. Dari laporan tersebut, pihak keluarga pun membantah pernyataan pihak kepolisian, pasalnya Afif Maulana dikenal sebagai anak yang tidak pernah tawuran sama sekali, bahkan tidak pernah keluar malam. Dari pernyataan tersebut, netizen pun ramai membicarakan kasus ini hingga munculnya dugaan penganiayaan yang dilakukan polisi terhadapp Afif. Berangkat dari isu yang viral tersebut, kepolisian pun meninjau kembali kasus kematian Afif dan melakukan penyelidikan terhadap dugaan penganiyaan oleh polisi.
Bahkan, selain kasus Vina Cirebon dan Afif Maulana, terdapat masih banyak lagi kasus yang ditinjau kembali kebenarannya oleh para penegak hukum berdasarkan berita yang berhasil diviralkan netizen melalui media sosial, seperti Penyiksaan Orang Papua oleh Polri, Tragedi Kanjuruhan, Penembakan Warga Bangkal, Kasus Jenderal Sambo, hingga Represifitas di Rempang. Berdasarkan berbagai contoh kasus di atas, dapat kita lihat bersama bahwa sebuah kasus yang viral cenderung lebih cepat dan serius untuk diusut daripada kasus yang dimulai dari laporan biasa. Lantas, jika semua harus diviralkan agar dapat diusut tuntas, pertanyaan selanjutnya ialah dimanakah prinsip etika profesi dari para penegak hukum?
Menurut Lubis (1994), etika profesi merupakan sikap hidup berupa kesediaan untuk dapat memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat. Sementara, dalam UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian juga dijelaskan bahwa etika profesi menjadi pedoman sikap, tingkah laku serta perbuatan dalam melaksanakan tugas. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa etika profesi sangat berkaitan dengan bidang tertentu yang memiliki hubungan secara langsung terhadap masyarakat. Maka, dalam penerapannya etika profesi akan berperan sebagai sistem norma, nilai serta aturan yang secara tegas menyatakan apa yang benar/baik serta apa yang tidak benar/tidak baik bagi setiap profesi.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka melihat etis atau tidaknya tindakan/sikap setiap profesi perlu memahami prinsip-prinsip yang menjadi tolak ukurnya. Menurut Keraf (1993: 49-50), prinsip dasar etika profesi dapat diuraikan menjadi beberapa poin, yakni tanggung jawab, keadilan, otonomi dan integritas. Prinsip tanggung jawab berkaitan dengan pelaksanaan, hasil kerja, serta dampak yang mungkin terjadi dari profesinya bagi kehidupan orang lain atau masyarakat umum. Prinsip keadilan menekankan pada pemenuhan hak dalam menjunjung tinggi keadilan dari setiap profesi. Prinsip otonomi yang menjadi panduan dalam wewenang serta kebebasan menjalankan pekerjaan sesuai profesinya. Serta prinsip integritas yang merujuk pada kualitas kejujuran serta melakukan pekerjaan secara konsisten dari setiap profesi.
Oleh karenanya, dapat kita pahami bahwa munculnya fenomena "No Viral, No Justice" tentu akan menjadi tekanan tersendiri bagi setiap lembaga atau instansi penegakan hukum yang memiliki prinsip etika profesi dalam penjalanannya. Jika sebuah kasus perlu diviralkan terlebih dahulu untuk diusut secara serius dan cepat, maka otonomi dan integritas lembaga penegakan hukum patut dipertanyakan. Serta apabila kebenaran justru ditemukan karena dugaan netizen di media sosial, maka masyarakat tentu akan meragukan sikap tanggung jawab dan keadilan lembaga penegakan hukum, termasuk kepolisian hingga kejaksaan.
Maka, sebenarnya "No Viral, No Justice" sangat berguna untuk mengontrol profesionalitas dari setiap lembaga penegakan hukum. Dengan demikian, setiap lapisan masyarakat juga turut andil dalam memperhatikan setiap pengambilan kebijakan yang berdampak pada masyarakat serta perjuangan atas pemenuhan hak setiap warga negara. Hal ini dapat menjadi tombak perubahan awal dari apatisme menuju antusiasme masyarakat di ranah kepentingan rakyat dan negara, meski harus diawali lewat hal-hal terkecil terlebih dahulu seperti kolom komentar dari setiap konten di media sosial yang dapat menjadi keresahan bersama. Dengan catatan, setiap pendapat serta pertanyaan yang dimunculkan di media sosial harus benar-benar diperhatikan agar tidak hanya sebatas penggiringan opini atau hoax yang justru akan menjadi bumerang kepada sesama pengguna media sosial.
Untuk menghindari penggiringan opini serta hoax, para netizen tentu sangat membutuhkan peran para intelektual sebagai patron untuk membangun argumen yang objektif serta rasional. Hal ini sejalan dengan konsep intelektual Antonio Gramsci, seorang pemikir neo-marxis dari Italia. Berdasarkan pengelompokan kaum intelektual menurut pandangan Gramsci, intelektual organik menjadi kelompok dengan penuh kesadaran dan keilmuan yang dimiliki untuk melawan hegemoni pemerintahan yang menindas rakyat. Meski tidak anti terhadap kekuasaan negara, intelektual organik secara konsisten mempertahankan idealisme dan sikap kritisnya untuk kepentingan masyarakat.
Dalam pandangannya, Antonio Gramsci menganggap negara bukanlah satu-satunya aktor dalam mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat. Melainkan pada hegemoni yang merupakan ketaatan secara sadar atas kekuatan seseorang yang dilakukan tidak dengan cara memaksa bahkan dengan cara kekerasan, namun pada kekuatan atas kontrol yang dilakukan. Hal ini tentu disertai dengan basis ideologi yang materil dan mendapat dukungan dari aktor intelektual. Dengan kata lain, semua orang sebenarnya termasuk dalam kategori intelektual, tapi tidak semuanya memiliki fungsi atau peran dalam kehidupan masyarakat.