"ISLAM DAN KERAGAMAN Â INDONESIA: BAGAIMANA MENYIKAPINYA?"
PESANTREN DI MATA KAUM MILLENIAL
Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, dengan jumlah sekitar 231 juta penduduk muslimnya, menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang menempati posisi pertama sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia.Kedatangan para pedagang dari Timur Tengah yang berbaur dengan masyarakat dan para petinggi kerajaan, menjadi salah satu faktor yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah umat muslim yang cukup besar ini, tidak dapat dipungkiri jika banyak lembaga pendidikan berbasis agama Islam tersebar di segala penjuru pelosok negeri ini.Â
Para ulama dan pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Timur Tengah, setelah kembalinya dari menuntut ilmu, mereka banyak mendirikan  lembaga-lembaga yang berbasis agama Islam, salah satu dari lembaga berbasis agama Islam yang paling sering kita dengar dan kita kenal yaitu  Pesantren.
Pesantren merupakan salah satu dari banyaknya lembaga berbasis agama Islam yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, kata Pesantren lebih identik digunakan disekitar kepulauan Jawa, banyak bahasa lain yang digunakan untuk penyebutan Pesantren di daerah yang berbeda seperti Surau, Dayah, Pondok dan lainnya. Meskipun ada sedikit perbedaan dari aturan maupun kegiatan akan tetapi Surau, Dayah, Pondok dan Pesantren mempunyai satu tujuan yang sama yaitu sebagai sarana untuk menuntut ilmu agama Islam.
Para pelajar yang menuntut ilmu di pesantren biasa disebut dengan istilah Santri. Kehidupan santri di Pesantren mempunyai perbedaan dengan kehidupan para pelajar yang menuntut ilmu di luar Pesantren, kehidupan mereka sehari-hari diatur dan dipantau sepenuhnya oleh pihak Pesantren, mereka terikat oleh peraturan yang menjadikan mereka hidup dengan pola hidup yang lebih teratur, setiap kegiatan keseharian mereka mulai dari ibadah, mengaji, makan, mandi, bersih-bersih dan lainnya diatur secara baik dengan tujuan menciptakan seorang santri yang mampu hidup mandiri dan taat kepada aturan, khususnya aturan agama. Dan bagi santri-santri yang melanggar aturan yang berlaku, akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan dan sanksi yang ia langgar agar menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab.
Kehidupan santri sebelum era millenial bisa dibilang cukup keras, dengan bangunan pesantren yang bisa dibilang kurang memadai, bangunan yang tidak cukup besar dengan fasilitas seadanya, bahkan ada beberapa pesantren yang hanya menempatkan santri-santrinya pada sebuah gubuk dengan beralaskan tanah dan diatapi oleh anyaman dari daun pohon kelapa, makan dengan makanan seadanya, yang mana, kadang mereka harus makan dengan makanan yang bisa dibilang sudah tidak layak konsumsi dan tidak memenuhi kebutuhan gizi bagi para kaum millenial sekarang, dan peraturan cukup keras yang diterapkan yang tidak jarang dari mereka harus menerima sanksi fisik seperti dipukul dengan kayu rotan atau dengan sendal saat tidak setoran hafalan atau tidak menaati peraturan pesantren yang ada, hal itu yang menjadikan mental para santri pada zaman itu benar-benar ditempa dan dibentuk menjadi pribadi yang kuat dengan berbagai macam keadaan.Â
Keikhlasan kiai dan guru dalam mendidik para santri dan kerelaan wali santri dalam melepas buah hatinya untuk menuntut ilmu, itu merupakan hal yang sangat penting dalam proses menuntut ilmu agama. Para wali santri saat itu dengan sepenuhnya menitipkan anak mereka di pesantren dengan segala konsekuensi yang diterima, demi menjadikan anak mereka seorang anak yang tidak hanya memahami ilmu agama, akan tetapi juga mampu hidup di dalam setiap keadaan mau senang ataupun susah. Meskipun dengan keadaan yang seperti itu, dengan kualitas santri yang baik, tidak menghalangi kesungguhan mereka untuk menuntut ilmu, bahkan, hal itu menjadikan mereka bisa lebih semangat dan giat dalam menuntut ilmu.
Berbanding dengan kehidupan di pesantren saat ini dengan segala fasilitas yang terpenuhi, gedung dan bangunan pesantren yang memadai, hidangan yang bisa dibilang layak dan cukup memenuhi gizi para santri dan dengan sanksi yang lebih diringankan lagi, dengan harapan menciptakan seorang santri yang lebih berkualitas dengan ilmu dan perilaku yang baik, hal itu seakan hanya menjadi sebuah harapan yang sirna, saat melihat kualitas santri yang semakin hari semakin menurun. Yang secara tidak langsung menegur kita bahwasannya dengan fasilitas yang terpenuhi itu tidak menjamin meningkatnya kualitas seseorang, yang dari sini penulis dapat menyimpulkan beberapa faktor yang menjadikan kualitas santri semakin menurun.
- Keawaman dan ketidakpahaman para orang tua millenial terhadap kehidupan pesantren.Keawaman dan ketidakpahaman para orang tua millenial terhadap kehidupan pesantren merupakan salah satu penyebab dari menurunnya kualitas santri di pesantren. Ntah karena memang orang tua tersebut tidak pernah menempuh pendidikan di pesantren yang menjadikannya asing terhadap kehidupan di lingkungan pesantren. Seperti contoh, kehidupan pesantren yang selalu menjunjung tinggi kebersamaan, mulai dari makan, tidur, dan kegiatan yang lainnya yang tidak pernah mereka temui di kehidupan di luar lingkungan pesantren yang menyebabkan, munculnya suatu pikiran negatif yang muncul dalam benak mereka ntah menganggap hal itu sebagai suatu pola hidup yang tidak sehat atau yang lainnya yang pada akhirnya berdampak pada santri atau anak dari orang tua tersebut.
- Menurunnya kualitas dan keinginan seorang anak dalam menuntut ilmu agama.Kualitas seorang anak juga harus diperhatikan oleh orang tua sebelum mereka memasukkan buah hatinya kedalam sebuah pesantren. Kita tidak bisa menganggap sebuah pesantren itu layaknya sebuah bengkel yang mana saat kita memasukkan kendaraan kita yang rusak kedalam sebuah bengkel, maka setelah keluar dari bengkel tersebut, kendaraan kita menjadi baik keadaannya. Akan tetapi sebuah pesantren itu diibaratkan seperti sebuah wadah yang terbuat dari emas, saat kita memasukkan sebuah perhiasan ke dalam wadah tersebut maka perhiasan tersebut akan terlihat semakin indah, dan juga sebaliknya apabila kita memasukkan kotoran ke dalam wadah tersebut maka kotoran tersebut akan tetap menjadi kotoran dan bahkan bisa mengotori wadah tersebut akan tetapi tidak mengubah sifat wadah tersebut yang terbuat dari emas. Kembali lagi kepada peran orang tua dengan  niat apa mereka memasukkan buah hatinya ke dalam sebuah pesantren, apabila niatnya baik niscaya buah hatinya akan menjadi seperti perhiasan dan apabila niatnya kurang baik maka jangan menyesal apabila buah hatinya hanya menjadi sebuah kotoran di dalam wadah emas tadi.
- Oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang hidup di dalam lingkungan pesantren.Para oknum yang tidak bertanggung jawab yang hidup di lingkungan pesantren merupakan salah satu faktor menurunnya kualitas santri di pesantren, bahkan tidak hanya menurunkan kualitas santrinya saja, tetapi juga menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap lingkungan pesantren. Seperti contoh kasus yang sudah-sudah, yang terjadi seperti kasus pelecehan, kekerasan seksual hingga pembunuhan yang terjadi di lingkungan pesantren. Yang menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lingkungan pesantren. Hal ini yang menyebabkan munculnya satu titik hitam di atas lembaran kertas putih yang menghilangkan beribu-ribu kebaikan yang telah diberikan pesantren hanya dengan satu kesalahan dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Seharusnya sebagai masyarakat yang bijak kita bisa menuntut oknum tersebut tanpa harus menyudutkan pesantren, atau mungkin kita bisa menjadikan pesantren hanya untuk dimintai keterangan tentang hal yang dilakukan oleh oknum tersebut.
Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan turunnya kualitas santri dan pesantren, sebagai bagian dari masyarakat pesantren kita harus mulai mengambil tindakan untuk menyelesaikan segala faktor yang menyebabkan turunnya kualitas santri dan pesantren. Akan lebih indah dipandang apabila kita hidup di lingkungan pesantren yang bagus dengan kualitas santri-santri yang baik pula.
"Orang Hebat Lahir Dari Orang Hebat dan Orang Hebat Melahirkan Orang Hebat"