Halo sobat kompasiana, kali ini saya akan membahas konten keuangan khususnya adalah perpajakan UMKM. Mulai dari bagaimana perkembangan aturannya sampai kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah kala pandemi untuk membuat sektor UMKM tetap hidup.Â
Seperti yang kita ketahui bahwa, UMKM merupakan salah satu sektor yang paling menggerakkan perekonomian di Indonesia. Implikasinya adalah ketika terjadi pandemi maka sektor yang paling terkena imbasnya yaitu sektor UMKM.
Definisi UMKM secara umum adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah dengan kategori penghasilan yang relatif kecil dari usahanya. Dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia khususnya pajak mengatur bahwa definisi UMKM adalah semua usaha yang memiliki klasifikasi pernghasilan bruto atau omset yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar per tahun sebagaimana diatur dalam PP No. 23 Tahun 2018.Â
Lebih jauh pemerintah juga menerbitkan aturan hukum yang berlaku sebagai kepastian hukum yang mengatur definisi UMKM menjadi berdasarkan kekayaan bersih/modal usaha dan hasil penjualan tahunan sebagai berikut:
Kekayaan Bersih/Modal Usaha:
- Mikro: Maksimal Rp 1 miliar
- Kecil: > Rp 1 miliar - Rp 5 miliar
- Menengah: > Rp 5 miliar - Rp 10 miliar
Hasil Penjualan Tahunan
- Mikro: Maksimal Rp 2 miliar
- Kecil: > Rp 2 miliar - Rp 15 miliar
- Menengah: > Rp 15 miliar - Rp 50 miliar
Sebagaimana dimaksud dalam PP No. 7 Tahun 2021. Hal ini menunjukkan perbedaan definisi UMKM dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia, namun apakah hal tersebut saling bertentangan? tentu saja tidak, karena definisi UMKM diatur dalam 2 (dua) aturan hukum yang berbeda peruntukkannya, sehingga apabila dalam hal pemenuhan kewajiban pembayaran pajak maka definisi UMKM menurut PP No. 23 Tahun 2018 akan lebih tepat, sebagaimana asas hukum yang berlaku "lex specialis derogat legi lex generalli".
Pada awalnya perpajakan UMKM diatur dalam PP No. 46 Tahun 2013 yang telah diganti dengan PP No. 23 Tahun 2018 dengan perubahan pengenaan tarif pajak dari dasar pengenaan pajak (DPP) dari 1% menjadi 0,5%. Artinya dengan adanya aturan baru tersebut diharapkan dapat memberikan efek positif dalam penerimaan negara. Sebagai contoh:
PT A memiliki Penghasilan Bruto 2019:
- Bulan Januari sebesar Rp 100.000.000
- Bulan Februari sebesar Rp 95.000.000
- Bulan Maret sebesar Rp Rp 110.000.000
- Bulan April sebesar Rp 75.000.000
Maka, kewajiban pembayaran pajak oleh PT A sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2018 adalah sebagai berikut:
- Bulan Januari sebesar Rp (100.000.000 x 0,5%) = Rp 500.000
- Bulan Februari sebesar Rp (95.000.000 x 0,5%) = Rp 475.000
- Bulan Maret sebesar Rp (110.000.000 x 0,5%) = Rp 550.000
- Bulan April sebesar Rp (75.000.000 x 0,5%) = Rp 375.000
Itulah ilustrasi perhitungan besarnya pajak yang harus dibayar UMKM sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2018 yang mengedepankan asas kemudahan. Namun, semua berubah ketika pandemi covid-19 mulai marak di Indonesia sekitar awal bulan Maret 2020 yang megakibatkan kepanikan bagi masyarakat terutama pada sektor UMKM yang implikasinya adalah jatuhnya UMKM.
Sebagian peneliti juga mulai menyoroti aturan PP No. 23 Tahun 2018, pasalnya dengan dasar pengenaan pajak (DPP) berdasarkan penghasilan bruto dianggap tidak adil dan memberatkan bagi para pelaku UMKM yang terdampak pandemi yang membuat para pelaku UMKM harus tetap membayar pajak selama melakukan penjualan dan penyerahan jasa, tanpa memperhitungkan biaya dan kerugian yang tidak diakui dan tidak dapat dikompensasikan pada tahun pajak berikutnya.
Sehingga muncul banyak insentif untuk membantu UMKM kembali hidup dan diharapkan membawa efek positif bagi sektor UMKM sebagai respon pemerintah untuk membantu menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi lewat sektor UMKM.
Seiring berjalannya waktu, pandemi covid-19 belum juga mereda, pada akhir bulan Oktober tahun 2021 pemerintah menerbitkan suatu inovasi integrasi aturan perpajakan yaitu UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.Â
Dimana aturan ini meberikan keringanan bagi para pelaku UMKM dengan meberikan parameter pengenaan pajak dengan batasan RP 500.000.000 per tahun (akumulasi) tidak akan dikenakan pajak UMKM sebagaimana dimaksud dalam PP No. 23 Tahun 2018. Berikut ilustrasinya:
PT A memiliki Penghasilan Bruto 2022:
- Bulan Januari sebesar Rp 100.000.000
- Bulan Februari sebesar Rp 300.000.000
- Bulan Maret sebesar Rp Rp 100.000.000
- Bulan April sebesar Rp 150.000.000
Maka, kewajiban pembayaran pajak oleh PT A sesuai dengan PP No. 23 Tahun 2018 dengan batasan yang diatur dalam UU No. 7 tahun 2021 adalah sebagai berikut:
- Bulan Januari sebesar Rp 100.000.000 = Rp 0, Karena akumulasi penghasilan bruto < Rp 500.000.000
- Bulan Februari sebesar Rp 300.000.000 = Rp 0, Karena akumulasi penghasilan bruto < Rp 500.000.000
- Bulan Maret sebesar Rp 100.000.000 = Rp 0, Karena akumulasi penghasilan bruto <= Rp 500.000.000
- Bulan April sebesar Rp (150.000.000 x 0,5%) = Rp 750.000
Itulah ilustrasi perhitungan pengenaan pajak bagi para pelaku UMKM setelah penerbitan UU No. 7 Tahun 2021 yang lebih berkeadilan dan tidak memberatkan para pelaku UMKM untuk membayar pajak, karena sesuai dengan asas four maxim yang dikemukakan oleh Adam Smith, bahwa pemungutan pajak dalam hal ini pembayaran pajak oleh UMKM harus dilakukan ketika para pelaku UMKM itu senang artinya pada saat mengalami keuntungan pada usahanya.
Nah itu tadi pembahasan saya mengenai perpajakan UMKM. Jadi sobat kompasiana sudah paham kan dengan penjelasannya saya harap tulisan saya dapat bermanfaat. Stay tune and stay healthy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H