Sepeninggal Jaka Sesuruh (raja Majapahit I), Prabu Anom putranya naik tahta. Sewaktu akan berburu banteng di hutan, Arya Wahan melarangnya karena raja belum cukup dewasa. Karena murkanya, Prabu Anom memerintahkan pada Ujung Sabata untuk membunuh Arya Wahan dengan keris Kyai Jangkungpacar. Melalui Ujung Sabata, Arya Wahan tewas dibunuh pada saat malam hari.
Meninggalnya Patih Arya Wahan membuat murka putranya, yakni Patih Udara yang tinggal di wilayah Kediri. Melalui Patih Udara, Prabu Anom tewas di medan pertempuran. Sepeninggal Prabu Anom, Adaningkung putranya menjabat sebagai raja di Majapahit.
Sesudah menikah, Adaningkung memiliki putra bernama Hayam Wuruk yang menurut sejarah merupakan raja terbesar dan tersohor di Majapahit. Hayam Wuruk memiliki putra bernama Lembu Amisani yang kelak menjabat sebagai raja Majapahit dengan Patih Demangwular. Lembu Amisani memiliki putra bernama Bratanjung. Bratanjung memiliki putra bernama Raden Alit. Raden Alit memiliki putra bernama Brawijaya yang kelak menjabat sebagai raja Majapahit dengan Patih Gajah Permada.
Brawijaya bermimpi memiliki istri seorang putri Cina. Karenanya, Brawijaya mengutus Patih Gajah Permada untuk melamar sang putri. Beserta rombongan, Gajah Permada berangkat ke Negeri Cina dengan kapal. Singkat cerita, lamaran Gajah Permada itu diterima oleh raja Cina. Tidak lama kemudian, pernikahan antara Brawijaya dengan sang putri dari Negeri Cina itu berlangsung. Selain putri Cinta, Brawijaya memiliki seorang istri berwujud raksasa bernama Nyi Endang. Dari istrinya ini, Brawijaya memiliki putra bernama Arya Dilah atau Arya Damar.
Kepada Arya Dilah, Brawijaya mengangkatnya sebagai adipati Palembang dan memberikan triman putri Cina yang tengah mengandung. Sekian lama tinggal di Palembang, putri Cina melahirkan putra dari benih Prabu Brawijaya yang diberi nama Raden Patah. Dari Arya Dilah, putri Cinta memiliki putra bernama Raden Kusen.
Karena tidak berkenan dijadikan raja di Palembang, Raden Patah yang diikuti Raden Kusen bermaksud pergi Jawa untuk berguru pada Sunan Ampel di Ampeldenta. Sesudah beberapa hari tinggal di Ampeldenta, Raden Kusen mengabdi pada Brawijaya. Oleh raja Majapahit itu, Raden Kusen diangkat sebagai Adipati Terung.
Sementara Raden Patah yang tetap belajar ilmu agama pada Sunan Ampel dinikahkan dengan putrinya yakni Ni Gede Maloka. Sesudah menikah, Raden Patah disarankan oleh Sunan Ampel untuk berjalan ke arah barat dan mencari tempat beraroma harum yang dikenal Glagah Wangi. Suatu tempat yang berada di tlatah hutan Bintara.
Brawijaya menanyakan kepada seluruh punggawa-nya tentang seseorang yang telah berani membangun pedukuhan di wilayah Bintara. Adipati Terung menjawab, bahwa orang itu adalah saudaranya. Karenanya Brawijaya memerintahkan kepada Adipati Terung untuk memanggil orang yang tidak lain bernama Raden Patah itu.
Adipati Terung melaksanakan perintah Brawijaya. Berangkat ke Pedukuhan Bintara untuk memanggil Raden Patah. Didampingi oleh Adipati Terung, Raden Patah menghadap Brawijaya. Dari raja Majapahit, Raden Patah tidak mendapatkan hukuman, melainkan anugerah yakni menjadi adipati di Bintara.
Pulanglah Raden Patah ke Pedukuhan Bintara. Lambat-laun, Pedukuhan Bintara yang resmi menjadi kadipaten itu mengalami perkembangan. Kadipaten Bintara yang semula sepi menjadi ramai. Menjadi tempat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh orang-orang dari manca negara. Dari sinilah, titik awal Kadipaten Bintara mulai menunjukkan eksistensinya sebagai bakal kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa.
Sudah genap tiga tahun, Raden Patah sang adipati Bintara tidak menghadap Prabu Brawijaya untuk menyerahkan upeti. Karena itu, Brawijaya mengutus Adipati Terung untuk menyatakan kenapa Raden Patah sudah sekian lama tidak menyerahkan upeti ke Kerajaan Majapahit.