"Benarkah namamu Bintara?" Raja Brawijaya memecah suasana balairung yang senyap. "Benarkah kau yang mendirikan kerajaan Demak?"
"Benar, Gusti Prabu."
"Kalau begitu, kau telah berani makar pada Majapahit." Wajah Raja Brawijaya tampak seperti piringan tembaga yang terbakar. "Tidak ada hukuman yang akan aku jatuhkan, selain hukuman...."
"Ampun, Gusti Prabu." Adipati Pecatonda menyela perkataan Raja Brawijaya. "Hamba mohon, hendaklah Gusti Prabu tidak cepat menjatuhkan hukuman pada Pangeran Bintara. Nanti, Gusti Prabu akan merasa menyesal sesudah mengetahui tentang siapakah sebenarnya Pangeran Bintara."
"Katakan, Adipati Pecatonda! Siapakah sebenarnya Pangeran Bintara?"
"Hendaklah Gusti Prabu ketahui bahwa Pangeran Bintara adalah kakak hamba sendiri. Nama, aslinya adalah Raden Patah. Menurut cerita dari ayahanda Arya Dilah kalau Kangmas Patah dilahirkan di muka bumi oleh ibunda bukan dari benih ayahanda, tapi dari benih Gusti Prabu sendiri."
Sontak Raja Brawijaya terdiam tanpa mampu melontarkan sepatah kata. Tubuhnya mematung. Wajahnya dingin. Sepasang matanya berkaca-kaca. Teringat pada sikap kejamnya pada Raden Patah. Sewaktu masih bayi di dalam kandungan putri Cinta harus disingkirkan dari Majapahit ke Palembang. Hanya karena kecemburuan Ratu Darawati kepada selirnya.
"Ampun, Gusti Prabu." Patih Gajah Premada mencairkan suasana tegang di dalam balairung Majapahit. "Hendaklah Gusti Prabu tidak cukup terdiam seribu bahasa. Masalah tidak cukup dihadapi dengan diam. Tapi, kebijakan Gusti Prabu yang akan menyelesaikan masalah ini."
"Baiklah, Kakang Patih!" Raja Brawijaya tampak menenangkan pikirannya yang tengah bergejolak di dalam benaknya. "Sesudah aku tahu kalau Pangeran Bintara darah dagingku sendiri. Maka ia tak akan aku berikan sanksi apapun atas kelancangannya berani membangun kerajaan di Demak tanpa sepengetahuan dan seizinku. Sebaliknya, aku merestuinya sebagai sultan di Demak."
"Apapun yang menjadi kebijakan Gusti Prabu, hamba menyetujuinya."
"Terima kasih, Kakang Patih." Raja Brawijaya mengalihkan pandangnya pada Raden Patah. "Patah, putraku. Kau telah mendengar sendiri bukan kalau aku telah menyetujui tekadmu untuk menjadi sultan di Demak. Sekarang, pulanglah! Kelolalah dengan baik kerajaanmu."