SERAT Pararaton sering disebut dengan Kitab Raja-Raja, Kitab Para Ratu, Kitab Para Datu, atau Pustaka Raja. Naskah Pararaton yang dikategorikan sebagai karya Sastra Jawa Pertengahan yang tidak diketahui penggubahnya (anomim) ini dikarang dengan menggunakan bahasa Jawa Kawi.
Naskah Serat Pararaton yang mengisahkan sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit tersebut dicipta cukup singkat yakni 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 18 bagian dan 1126 baris. Naskah tersebut diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222--1292) dan diakhiri dengan penulisan nama desa dan titi mangsa ketika pengarangnya menyelesaikan karyanya pada tahun 1535 Saka (3 Agustus 1613).
Kisah Perang Bubat dalam Serat Pararaton
Pada bagian 10 dari Serat Pararaton yang digubah semasa awal pemeritahan Sultan Agung di Mataram Islam tersebut mengisahkan mengenai perang antara rombongan pengantin dari Sunda dan pasukan Majapahit di lapangan Bubat. Karena perang tersebut terjadi di lapangan Bubat, maka dikenal Perang Bubat. Selanjutnya Perang Bubat dikisahkan dalam Serat Pararaton, sebagai berikut:
Tumuli pasunda-bubat. Bhre prabhu ayun ing putri ring Sunda. Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda, ahidep wong Sunda yan awawarangana. Teka ratu Sunda maring Majapahit, sang ratu Maharaja, tanpa ngaturaken putri. Wong Sunda kudu awiramena, tingkah ing jurungen.Â
Sira patihing Majapahit tanpayun yen wiwahanen, reh sira rajaputri makaturatura. Wong Sunda tanpasung. Sira Gajah Mada matur polahing wong Sunda. Bhra pramewareng Wengker sirasanggup: "Sampun walang ati, kakji, ingsun-lawanane apagut."Â
Sira Gajah mada matur polahing wong Sunda. Tumuli apangarah wong Majapahit angepang wong Sunda.Â
Wong Sunda harep angaturakena rajaputri, tan sinungan dening menak, asanggup matieng Bubat tan harep anungkul, manggetoha getih. Sangguping menak agawe pangrus, adining Sundanggergut, Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Paji Melong, Urang Sangkaring Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Tuan Sohan, Urang Pangulu, Urang Saya, Rangga Kaweni, Urang Siring, Satrajali, Jagat Saya, sakwehing wado Sunda pareng asurak. Pinagut ing uni dening reyong, ghrnitaning surak kadi guntur. Sang prabhu Maharaja wus angemasi karuhun, mati lan Tuan Usus. Bhra Paramewara sira maring Bubat, tan sapeksa yan wong Sunda akeh kari, tur adinya menak anempuh.Â
Mangidul wong Sunda, rusak wong Majapahit. Kang anangkis sajata amapulihaken sirarya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, Jaran Bhaya. Sakeh sang mantri araraman aprang saking kuda, katitihan wong Sunda, anempuh mangidul mangulon anuju, nggonira Gajah mada, sing tekareping padati wong Sunda mati, kadi sagara getih gunung wangke, bhrasta wong Sunda tan hana kari, i aka sanga-turangga-paksawani, 1279. Tunggalan padompo Pasunda.*
Kajian Perang Bubat Berdasarkan Serat Pararaton    Â
Disebutkan di muka bahwa Serat Pararaton digubah pada tahun 1613. Masa awal di mana Sultan Agung memerintah Mataram Islam (Mataram Baru). Pada masa itu, Sultan Agung mulai melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya di Jawa, terutama di Surabaya. Suatu wilayah yang tidak bisa ditundukkan Mataram semasa pemerintahan Panembahan Senapati dan Raden Mas Jolang.
Dari uraian di muka memunculkan perkiraan bahwa Serat Pararaton digubah dengan tujuan politis dari pihak tertentu yang ingin mengadu domba antara Jawa Timur (Majapahit) dan Jawa Barat (Sunda) melalui kisah Perang Bubat. Pihak tertentu tersebut diperkirakan Sultan Agung atau VOC. Namun perkiraan tersebut perlu dikaji ulang berdasarkan sumber-sumber terpercaya dan analisa kritis.
Hal menarik dari Serat Pararaton dalam mengisahkan Perang Bubat yakni tidak menyebutkan nama raja dan putri Sunda. Fakta ini menunjukkan dua kemungkinan, yakni: pertama, penulisan Serat Pararaton tidak memiliki referensi lengkap yang berkaitan dengan nama raja dan putri Sunda. Kedua, dengan tidak menyebutkan nama raja dan putri Sunda karena tidak mau menyinggung pihak terkait yakni: Maharaja Linggabuana Wisesa dan Dyah Pithaloka Citraresmi.
Selain nama raja dan putri Sunda, Serat Pararaton tidak menyebutkan nama pengarangnya. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang bertanggung jawab secara langsung terhadap penulisan naskah tersebut. Di samping itu, tidak adanya nama penulis naskah karena tujuan-tujuan politis di dalam penciptaan naskah tersebut.
Berkaitan dengan Perang Bubat, penceritaan Serat Pararaton tidak jauh berbeda dengan Kidung Sunda atau Kidung Sundayana yang ditulis paska tahun 1540 (paska runtuhnya Majapahit 1527). Fakta ini menunjukkan bahwa Serat Pararaton menyadur Kidung Sunda atau Kidung Sundayana di dalam mengisahkan Perang Bubat yang merupakan kecelakaan sejarah Majapahit.
Berpijak pada analisa di muka, maka bisa disimpulkan bahwa Serat Pararaton merupakan karya fiksi yang tidak memiliki data lengkap dan akurat di dalam mengisahkan Perang Bubat. Karenanya naskah tersebut tidak bisa dijadikan referensi terpercaya di dalam menguatkan pendapat bahwa Perang Bubat merupakan suatu fakta sejarah terpercaya. [Sri Wintala Achmad]
Catatan:
* Patih disuruh mengundang orang-orang Sunda. orang-orang Sunda setuju akan perkawinan itu. Datanglah raja Sunda di Majapahit, sang ratu Maharaja, tanpa membawa putri. Orang-orang Sunda menginginkan agar diadakan upacara perkawinan yang meriah dan menghendaki agar disetujui.
Patih Majapahit tidak setuju kalau diadakan upacara perkawinan karena putri itu dimaksudkan sebagiai persembahan. Orang-orang Sunda tidak suka. Gajah Mada menghaturkan tentang kelakuan orang-orang Sunda. Bhra Parameswara di Wengker berkata: "Jangan takut Kakanda Baginda, Adinda lawan berperang."
Gajah Mada menghaturkan tentang kekuatan Sunda. Orang-orang Majapahit lalu membuat rencana mengepung orang-orang Sunda.
Orang-orang Sunda bermaksud memberikan putri tetapi tidak diperbolehkan oleh para pahlawan Sunda, mereka ini sanggup mati di Bubat tidak mau menjarah, jika andai kata sampai berperang mencucurkan darah. Kesanggupan para pahlawan Sunda ini menimbulkan semangat bertempur, di antara para pahlawan itu terdapat Sundanggergut, Larangagung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Tuan Sohan, Urang Panglulu, Urang Saya, Ringga Kaweni, Urang Siring, Satrajali, Jagat Saya, segenap pasukan Sunda bersama-sama bersorak. Ditambah dengan bunyinya reyong (semacam alat bunyi-bunyian), suaranya sorak seperti guntur. Sang prabu sudah wafat terlebih dahulu, bersama-sama dengan Tuhan Usus. Bhra Parameswara pergi ke Bubat, tidak tahu jika orang-orang Sunda banyak yang masih tertinggal, sedangkan para pahlawan Sunda masih maju menyerang.
Orang-orang Sunda maju menyerang ke arah selatan, rusaklah pasukan Majapahit. Serangan ini dipatahkan sedang yang mematahkan serangan itu ialah Arya Gentong, Patih Gowi, Patih Margaluwih, Patih Teteg, Jaran Bhayu. Semua menteri araraman berperang di atas kuda, kalahlah orang-orang Sunda, menyerang ke barat daya menuju ke tempat Gajah Mada, setiap orang Sunda yang datang di muka keretanya mati, seperti lautan darah gunung mayat, rusaklah pasukan Sunda, tak ada yang ketinggalan, dalam tahun saka sanga turangga paksawani, 1279. Pada tahun yang sama terjadi peristiwa Padompo Pasunda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H