Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kajian Serat Pararaton perihal "Perang Bubat"

2 Desember 2019   15:51 Diperbarui: 2 Desember 2019   15:51 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Araska Publisher

Selain nama raja dan putri Sunda, Serat Pararaton tidak menyebutkan nama pengarangnya. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang bertanggung jawab secara langsung terhadap penulisan naskah tersebut. Di samping itu, tidak adanya nama penulis naskah karena tujuan-tujuan politis di dalam penciptaan naskah tersebut.

Berkaitan dengan Perang Bubat, penceritaan Serat Pararaton tidak jauh berbeda dengan Kidung Sunda atau Kidung Sundayana yang ditulis paska tahun 1540 (paska runtuhnya Majapahit 1527). Fakta ini menunjukkan bahwa Serat Pararaton menyadur Kidung Sunda atau Kidung Sundayana di dalam mengisahkan Perang Bubat yang merupakan kecelakaan sejarah Majapahit.

Berpijak pada analisa di muka, maka bisa disimpulkan bahwa Serat Pararaton merupakan karya fiksi yang tidak memiliki data lengkap dan akurat di dalam mengisahkan Perang Bubat. Karenanya naskah tersebut tidak bisa dijadikan referensi terpercaya di dalam menguatkan pendapat bahwa Perang Bubat merupakan suatu fakta sejarah terpercaya. [Sri Wintala Achmad]

Catatan:

* Patih disuruh mengundang orang-orang Sunda. orang-orang Sunda setuju akan perkawinan itu. Datanglah raja Sunda di Majapahit, sang ratu Maharaja, tanpa membawa putri. Orang-orang Sunda menginginkan agar diadakan upacara perkawinan yang meriah dan menghendaki agar disetujui.

Patih Majapahit tidak setuju kalau diadakan upacara perkawinan karena putri itu dimaksudkan sebagiai persembahan. Orang-orang Sunda tidak suka. Gajah Mada menghaturkan tentang kelakuan orang-orang Sunda. Bhra Parameswara di Wengker berkata: "Jangan takut Kakanda Baginda, Adinda lawan berperang."

Gajah Mada menghaturkan tentang kekuatan Sunda. Orang-orang Majapahit lalu membuat rencana mengepung orang-orang Sunda.

Orang-orang Sunda bermaksud memberikan putri tetapi tidak diperbolehkan oleh para pahlawan Sunda, mereka ini sanggup mati di Bubat tidak mau menjarah, jika andai kata sampai berperang mencucurkan darah. Kesanggupan para pahlawan Sunda ini menimbulkan semangat bertempur, di antara para pahlawan itu terdapat Sundanggergut, Larangagung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Tuan Sohan, Urang Panglulu, Urang Saya, Ringga Kaweni, Urang Siring, Satrajali, Jagat Saya, segenap pasukan Sunda bersama-sama bersorak. Ditambah dengan bunyinya reyong (semacam alat bunyi-bunyian), suaranya sorak seperti guntur. Sang prabu sudah wafat terlebih dahulu, bersama-sama dengan Tuhan Usus. Bhra Parameswara pergi ke Bubat, tidak tahu jika orang-orang Sunda banyak yang masih tertinggal, sedangkan para pahlawan Sunda masih maju menyerang.

Orang-orang Sunda maju menyerang ke arah selatan, rusaklah pasukan Majapahit. Serangan ini dipatahkan sedang yang mematahkan serangan itu ialah Arya Gentong, Patih Gowi, Patih Margaluwih, Patih Teteg, Jaran Bhayu. Semua menteri araraman berperang di atas kuda, kalahlah orang-orang Sunda, menyerang ke barat daya menuju ke tempat Gajah Mada, setiap orang Sunda yang datang di muka keretanya mati, seperti lautan darah gunung mayat, rusaklah pasukan Sunda, tak ada yang ketinggalan, dalam tahun saka sanga turangga paksawani, 1279. Pada tahun yang sama terjadi peristiwa Padompo Pasunda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun