MENCERMATI perang saudara di lingkup kerajaan Jawa sejak Singhasari pada era pemerintahan Kertanagara hingga Kasunanan Surakarta pada era pemerintahan Sunan Pakubuwana III cukup menarik. Beberapa hal yang paling menarik untuk dikemukakan bahwa perang saudara di lingkup kerajaan-kerajaan di Jawa itu karena faktor politik yang berkaitan dengan perebutan atau keinginan untuk mendapatkan tahta kekuasaan, balas dendam, legitimasi pewaris tahta kerajaan, atau upaya untuk mendapatkan wilayah kekuasaan.
Perebutan Tahta Kekuasaan
Menjelang runtuhnya Singhasari, Kertanagara ingin memerluas wilayah kekuasaannya sampai luar Pulau Jawa. Melaui Ekspedisi Pamalayu, Kertanagara ingin menguasai wilayah-wilaya di Pulau Sumatera. Namun melalui ekspedisi yang tidak memertimbangkan keamanan di dalam negeri itu, justru Singhasari mengalami keruntuhannya akibat pemberontakan Jajakatwang. Adipati Gelanggelang yang masih saudara sepupu, saudara ipar, atau besan.
Motivasi pemberontakan Jayakatwang yang dihasut oleh Aria Wiraraja (adipati Sumeneb) yakni ingin merebut tahta kekuasaan Singhasari. Akibat pemberontakan itu, Kertanagara tewas dan sejarah Singhasari pun berakhir. Mengingat sesudah menjadi raja, Jayakatwang memindahkan ibukota Singhasari ke Dhaha. Suatu wilayah di Kadiri.
Sesudah menjadi raja, Jayakatwang diturunkan oleh Dyah Wijaya (menantu Kertanagara) melalui pasukan Tartar atau Mongolia yang ingin berbalas dendam pada Kertanagara. Turunnya Jayakatwang dari tahta kekuasaannya, maka Dyah Wijaya yang ingin menjadi raja tanpa bayang-bayang Dhaha itu dapat merealisasikan cita-citanya. Arkian, berdirilah Kerajaan Majapahit.
Pada era Majapahit, perebutan kekuasaan yang berkedok pemberontakan yakni dilakukan oleh Ra Kuti terhadap pemerintahan Jayangara, Dyah Kertawardhana terhadap Dyah Kertawijaya, Dyah Kertabhumi terhadap Dyah Suprabhawa, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya terhadap Dyah Kertabhumi.
Perebutan tahta kekuasaan kembali terjadi semasa pemerintahan Arya Pangiri di Kesultanan Pajang. Arya Pangiri (menantu Sultan Hadiwijaya) turun tahta dan kembali ke Demak sesudah diserang Pangeran Banawa (putra Sultan Hadiwijaya) dan Panembahan Senapati (Mataram).
Di masa pemerintahan Sunan Amangkurat II (Kasunanan Kartasura) pula terjadi perebutan kekuasaan yang berkedok pemberontakan. Akan tetapi, pemberontakan Pangeran Puger itu tidak membawa hasil. Bahkan Pangeran Puger kemudian menjadi bawahan Sunan Amangkurat II.
Akan tetapi, pemberontakan Pangeran Puger untuk mendapatkan kekuasaan Kartasura berhasil semasa pemerintahan Sunan Amangkurat III. Dengan mendapatkan dukungan Kumpeni dan Arya Mataram, Pangeran Puger mampu menguasai Kartasura. Ketika menjadi raja, Pangeran Puger dikenal dengan Sunan Pakubuwana I.
Balas DendamÂ
Perang saudara dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa terjadi semasa pemerintahan Dyah Kertabhumi di Majapahit. Karena Dyah Kertabhumi mampu menjadi raja sesudah berhasil melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dyah Suprabhawa, maka Girindrawardhana Dyah Ranawijaya putranya berbalas dendam. Melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dyah Kertabhumi. Sesudah pemberontakannya berhasil, Girindryawardhana Dyah Ranawijaya memindahkan ibukota Majapahit dari Majakerta ke Dhaha (Kadiri).
Balas dendam yang memicu timbulnya perang saudara pula dilakukan Arya Penangsang (kadipaten Jipang Panolan) terhadap Sunan Prawata (Kesultanan Demak). Arya Penangsang berhasil membunuh Sunan Prawata melalui Rangkut abdinya, karena raja Demak itu semula sebagai dalang atas terbunuhnya Raden Kikin (Pangeran Seda Lepen) ayanya. Sesudah berhasil membunuh Sunan Prawata, Arya Penangsang menjabat sebagai raja Demak dengan ibukota di Jipang Panolan.
Peristiwa terbunuhnya Sunan Prawata di tangan Rangkut dan Pangeran Kalinyamat di tangan Arya Penangsang memicu dendam Ratu Kalinyamat terhadap penguasa Jipang Panolan itu. Berkat dendam Ratu itulah, Sultan Hadiwijaya yang menyanggupi permintaan Ratu Kalinyamat mengumumkan sayembara bahwa siapapun dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapat hadiah tanah Mentaok dan Pati.
Dengan berhasilnya mengikuti sayembara dari Sultan Hadiwijaya itu, Panjawi dan Pemanahan yang telah membunuh Arya Penangsang di Bengawan sore mendapat hadiah. Panjawi mendapat hadiah tanah Pati. Pemanahan mendapat hadiah tanah Mentaok (Mataram).
Legitimasi sebagai Pewaris TahtaÂ
Akhir pemerintahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya -- raja Majapahit dengan ibukota Dhaha -- dikarenakan serangan Raden Patah (putra Bhre Kertabhumi) dari Kesultanan Demak Bintara. Muncul suatu teori bahwa serangan Raden Patah terhadap Girindrawardhana Dyah Ranawijaya untuk mendapatkan legitimasi sebagai pewaris tahta Majapahit.
Pada dasarnya perang saudara di Majapahit karena dipicu untuk mendapatkan legitimasi sebagai pewaris tahta telah terjadi pada era Perang Paregreg antara Wikramawardhana (Majapahit Barat) dan Bhre Wirabhumi (Majapahit Timur). Pemberontakan yang dilakukan Kertawardhana terhadap kekuasaan Dyah Kertawijaya, Dyah Kertabhumi terhadap kekuasaan Dyah Suprabhawa, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya terhadap kekuasaan Dyah Kertabhumi pula mencerminkan upaya untuk mendapatkan legitimasi sebagai pewaris tahta Majapahit.
Apa yang dilakukan Raden Patah dan raja-raja Majapahit di muka tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Pangeran Banawa (putra Sultan Hadiwijaya dari Pajang). Pangeran Banawa yang mendapatkan dukungan Panembahan Senapati untuk melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Arya Pangiri (raja Pajang kedua) karena merasa lebih berhak sebagai pewaris tahta Pajang. Mengingat Arya Pangiri hanya menantu Sultan Hadiwijaya.
Di dalam sejarah Kasunanan Kartasura pula mencatat bahwa pemberontakan Pangeran Puger terhadap kekuasaan Sunan Amangkurat II dan Sunan Amangkurat III dimaknai sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi sebagai raja di tanah Jawa dari keturunan raja-raja Mataram.
Catatan Akhir
Dari catatan di muka bisa disimpulkan bahwa perang saudara di lingkup kerajaan-kerajaan di Jawa sebelum runtuhnya Singhasari hingga Perjanjian Salatiga pada era pemerintahan Sunan Pakubuwana III di Kasunanan Kartasura dikarenakan faktor politis yang berkaitan dengan tahta dan wilayah kekuasaan. Dengan demikian sejarah raja-raja di Jawa tidak bisa dilepaskan dengan unsur politik. Keduanya serupa sepasang mata uang yang tidak bisa dilepaskan antara satu dengan lainnya.
Tidak salah bila banyak orang menyebutkan bahwa untuk belajar politik praktis harus memelajari sejarah. Namun buku ini tidak ditujukan sebagai bacaan untuk memelajari politik praktis melalui sejarah, melainkan sekadar memberikan gambaran bahwa politik praktis dalam ranah kekuasaan senantiasa mengkhalalkan segala cara. Bila akal tidak mumpuni di dalam memeroleh kekuasaan, maka okol (perang) yang harus ditempuh.
Dengan membaca buku ini, kita pun menjadi semakin paham bahwa politik kekuasaan yang digunakan para praktisinya pada era sekarang tidak jauh berbeda dengan politik kekuasaan dari para pendahulunya. Di mana politik cenderung digunakan sebagai senjata untuk membunuh lawan ketimbang sebagai penyelamat umat manusia. Inilah potret buram kehidupan politik yang berkembang di dalam kehidupan manusia di muka bumi. [Sri Wintala Achmad]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI