Karena tekadnya belum bulat, Sultan Agung menunda penyerangannya ke Giri Kedaton. Sultan Agung mengetahui bahwa Giri Kedaton memiliki kewibawaan di mata rakyat. Di bawah Sultan Agung, Sunan Prapen seperti matahari yang sangat terang benderang sinarnya di wilayah timur. Banyak raja menghaturkan hormat dan tanda takluk pada Sunan Prapen. Tidak jarang raja-raja meminta pertimbangan pada Sunan Prapen yang berkaitan dengan masalah kenegararaan.
Bagi Sultan Agung yang ingin menguasai seluruh Jawa tidak ada matahari kembar di tanah Jawa. Kalau Sunan Prapen dibiarkan hidup, maka dimungkinkan Mataram akan lenyap dari muka bumi. Maka dengan tekad bulat, Sultan Agung ingin menyerang Giri Kedaton dan membinasakan Sunan Prapen melalui Pangeran Pekik.
Sementara bagi Pangeran Pekik sendiri, perintah Sultan Agung untuk menundukkan Giri Kedaton itu dirasakannya sangat berat. Karena sebagaimana keturunan Sunan Ampel, Pangeran Pekik tidak mau memadamkan matahari Islam di wilayah Giri Kedaton. Karenanya sewaktu Pangeran Pekik tampak bimbang, Ratu Pandansari merayunya agar bersedia menyerang Giri Kedaton.
Kepada Pangeran Pekik, Ratu Pandansari menyatakan bahwa hubungan antara Sunan Prapen dan Adipati Jayenglengkara muridnya itu telah putus. Di samping, Sunan Prapen bukan murni lagi sebagai wali karena telah mengenal keris dan pedang. Dari sinilah, semangat Pangeran Pekik untuk menyerang Giri Kedaton mulai menyala dan berkobar-kobar.
Pada tahun 1636, Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari pergi ke Surabaya. Di sana, mereka menyiapkan pasukan untuk menyerang Giri Kedaton. Sebelum meninggalkan Mataram, mereka mendapat dua pusaka dari Sultan Agung yakni Bende Kiai Bicak dan Tombak Kiai Plered. Sesudah pasukan Mataram dan Surabaya bergabung, mereka menyerbu Giri Kedaton.
Tidak seperti perang Mataram versus Surabaya, perang Mataram versus Giri Kedaton bukan sekadar perang politik, namun pula perang spiritual. Sebelum perang meletrus, Pangeran Pekik memerintahkan Adipati Sepanjang untuk menyebar telik sandi agar mengetahui peta kekuatan Giri Kedaton. Berdasarkan laporan dari telik sandi, Giri Kedaton sudah mengetahui kalau Mataram dan Surabaya akan menyerang Giri Kedaton. Terbukti Giri Kedaton telah melatih 200 prajurit di bawah asuhan Endrasena. Karena masih keturunan ningrat Cina, Endrasena dikenal dengan Ki Cina.
Sesudah mendengar laporan dari Adipati Sepanjang, Pangeran Pekik yang tidak menghendaki terjadinya pertumpahan darah sesama umat muslim di Giri Kedaton membujuk Sunan Prapen untuk menyerah baik-baik pada Mataram. Namun berkat dukungan Endrasena, Sunan Prapen menolak permohonan Pangeran Pekik.
Dikarenakan Sunan Prapen tidak mau tunduk pada Mataram, Pangeran Pekik beserta Ratu Pandansari, dan pasukannya menyerang Giri Kedaton. Pecahlah perang antara pasukan Giri Kedaton di bawah komando Endrasena melawan pasukan gabungan Mataram-Surabaya di bawah komando Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari.
Di bawah kepemimpinan Endrasena, pasukan Giri Kedaton berhasil membuat kocar-kacir pasukan gabungan Mataram-Surabaya. Mengetahui kekalahan pasukannya, Ratu Pandansari tidak marah. Sebaliknya, Ratu Pandansari membangkitkan pasukannya dengan money politic. Seluruh pasukannya diberi pakaian indah dan uang. Karena strategi itulah, semangan pasukan Mataram-Surabaya kembali bangkit hingga mampu melumpuhkan pasukan Giri Kedaton. Sesudah mengalami kejayaan, pasukan Mataram-Surabaya menjarah rayah harta benda di dalam istana Giri Kedaton.
Sejak Giri Kedaton mengalami kelumpuhan, MDW dibubarkan. Selain itu, Sultan Agung mulai diakui sebagai satu-satunya raja besar di tanah Jawa. Karenanya Sultan Agung menggunakan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama Abdullah Muhammad Maulana Abdurrahman Khalifatullah ing Tanah Jawa.
Sungguhpun Giri Kedaton berhasil dilumpuhkan oleh Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari, namun tetap menanam dendam pada Mataram. Terbukti sesudah Mataram dikuasai oleh putra Sultan Agung yakni Sunan Amangkurat I, Panembahan Giri (putra Sunan Prapen) mendukung pemberontakan Trunajaya. Akibat pemberontakan yang didukung oleh Panembahan Rama dan Kraeng Galengsong dari Makassar itu, Mataram mengalami sandyakalanya.