DI DALAM Babad Tanah Jawa gubahan Pangeran Karanggayam, Pangeran Adilangu II, Tumenggung Tirtawiguna, dan Carik Braja menyebutkan tentang Donan, suatu wilayah yang sekarang berada di Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah).Â
Melalui naskah karangan para pujangga Surakarta tersebut dikisahkan tentang Raden Mas Rahmat yang ingin menjadi raja di Tegal Arum tersebut memerintahkan  Ki Pranantaka (Gendowor) untuk memetik bunga wijayakusuma di Donan.
Menurut pendapat para penafsir naskah babad bahwa bunga wijayakusuma merupakan simbol wahyu keprabon. Karenanya sebelum menjadi raja di Tegal Arum paska penangkapan Trunajaya (Panembahan Maduretna), Raden Mas Rahmat harus mendapatkan wahyu keprabon yang berada di wilayah Donan.
Kenapa Raden Mas Rahmat menganggap Donan sebagai tempat wahyu keprabon? Para penafsir naskah babad menyebutkan bahwa Donan yang waktu itu masih berupa hutan di mana makhluk halus dan binatang buas disimbolkan sebagai tempat pendadaran bagi calon raja.
Dikarenakan Raden Mas Rahmat (Sunan Amangkurat II) di mana semula mendaptkan bunga wijaya kusuma di Donan tidak melalui usahanya sendiri, maka hanya memiliki seorang keturunan yang menjadi raja di Kasunanan Kartasura.
 Dia adalah Raden Mas Sutikna (Sunan Amangkurat III) yang lengser keprabon karena makar Pangeran Puger (Sunan Pakubuwana I) yang mendapat dukungan Arya Mataram dan VOC dari Semarang.
Selain disebutkan di dalam Babad Tanah Jawa, Donan juga disebut di dalam cerita tutur mjengenai tokoh Bagus Santri, Sunan Undik, atau Sunan Gudig yang merupakan murid Sunan Kalijaga.Â
Tokoh ini yang kemudian menginspirasi lahirnya lakon Prahara Mustik Donan dalam seni Ketoprak khas Cilacapan. Dikatakan demikian, karena gaya permaianan Ketoprak Cilacapan sedikit berbeda dengan khas Mataram (Ketoprak Mataram).
Bagus Santri versus Garuda Beri
GRUP Ketoprak Kembang Jaya pimpinan Sulistianto yang eksis pada zamannya sering mementaskan lakon favoritnya yakni Prahara Mustika Donan. Lakon tersebut bersumber dari cerita tutur perihal Bagus Santri. Salah seorang tokoh yang dikenal oleh masyarakat Cilacap.
Prahara Mustika Donan mengisahkan tentang Kadipaten Donan yang tengah diserang oleh Garuda Beri, burung pemakan ternak dan manusia. Karena burung itu sudah menelan banyak korban, penguasa Donan yakni Adipati Rangga Senggana bertindak.Â
Membuka sayembara bahwa barang siapa dapat membunuh burung itu  akan dinikahkan dengan putri kesayangannya. Siapa yang dapat membasmi prahara di Kadipaten Donan? Jawabnya sudah jelas. Bagus Santri.
Kisah Prahara Mustika Donan berakhir dengan happy ending. Sungguhpun begitu, lakon yang dikisahkan dalam pertunjukan Ketoprak tradisional tersebut sangat menyedot perhatian penonton.Â
Terutama ketika adegan dramatik pertarungan antara Bagus Santri versus Garuda Beri. Pertarungan yang dimenangkan Bagus Santri karena pusaka tongkat sakti pemberian Sunan Kalijaga. Kemenangan yang mengantarkan Bagus Santri menjadi putra menantu Adipati Rangga Senggana di Kadipaten Donan.
Makna Lakon Prahara Mustika Donan
SELAIN sebagai tontonan, pertunjukan Ketoprak Kembang Jaya lakon Prahara Mustika Donan dapat dimaknai sebagai tuntutan (media pendidikan) bagi publik.Â
Mengingat lakon tersebut menyampaikan ajaran bahwa kesaktian yang digunakan untuk kejahatan (Garuda Beri) akan dapat ditaklukkan oleh kebajikan dan kebenaran (Bagus Santri). Di lingkup masyarakat Jawa, ajaran tersebut diungkapkan dengan Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti.
Nilai edukatif lain yang dapat dicerap oleh para penonton bahwa Bagus Santri -- sang tokoh kebenaran -- dapat menginspirasi bahwa perjuangan hidup harus disertai kebajikan.Â
Amalan positif yang disimbolkan dengan tongkat pusaka Bagus Santtri tersebut dapat memberikan pertolongan pada sesama  di dalam menghadapi rintangan yang menghadang.Â
Sehingga apa yang diperjuangkan akan menjadi kenyataan manis sebagaimana digambarkan dengan putri Adipati Rangga Senggana.
Nilai edukatif terakhir dari lakon Prahara Mustika Donan bahwa berakhirnya malapetaka (prahara) yang diebus melalui perjuangan akan mendatangkan penghormatan (makna simbolik dari mustika).Â
Dengan perjuangan yang maksimal, maka penghormatan yang diperoleh akan mengangkat derajat manusia itu sendiri. Persepsi ini sekadar menunjukkan bahwa derajat manusia merupakan kodrat yang bisa diwiradat, sungguhpun tetap seizin Tuhan). [Sri Wintala Achmad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H