Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Melawan Lupa] Geger Spehi yang Terselip di Lipatan Kusut Sejarah Yogyakarta

18 Juli 2019   05:13 Diperbarui: 18 Juli 2019   05:21 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SESUDAH Belanda takluk dan meninggalkan wilayah Hindia Belanda di bawah kekuasaan Inggris pada tahun 1811, Sultan Hamengkubuwana II kembali menduduki tahta Kesultanan Yogyakarta. Sementara itu, Sultan Hamengkubuwana III kembali menjadi putra mahkota serta membuat perdamaian dengan ayahnya pada tanggal 5 November 1811.

Namun, kedatangan Inggris ditentang oleh keraton-keraton di Jawa (Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) yang mengadakan perjanjian rahasia untuk melawan Inggris. Ketegangan yang memuncak membuat John Crawfurd (Residen Inggris di Yogyakarta) mengontak putra mahkota melalui perantaraan Pangeran Diponegoro.

https://jogja.tribunnews.com 
https://jogja.tribunnews.com 

Pihak Inggris bermaksud mengangkat putra mahkota kembali menjadi sultan karena memiliki sikap lebih ramah dan penurut dibandingkan ayahnya yang kaku. Di lain pihak, Sultan Hamengkubuwana II bermaksud membujuk Inggris untuk mengganti kedudukan putra mahkota kepada Mangkudinigrat.

Putra mahkota sendiri dikisahkan dalam Babad Bedhahing Ngayogyakarta atau Babad Ngengreng karya Bendara Pangeran Harya Panular dan tinjauan Residen Valck tidak berniat merebut kekuasaan meskipun keselamatan dirinya terancam oleh ayahnya. Itulah sebabnya dirinya masih berada di keraton pada saat Inggris menyerang.

***

Pada tanggal 13 Juni 1812, 1000 anggota pasukan Inggris (setengahnya Sepoy) memasuki Benteng Vrederburg secara diam-diam di malam hari. Raffles tiba di Yogyakarta pada tanggal 17 Juni 1812. Keesokan harinya pada pukul 5 pagi, keluarga Pangeran Natakusuma mengungsi ke benteng, Sementara pengikutnya memakai kain putih di lengan kiri sebagai tanda pengenal bagi Inggris. Pada hari itu, pasukan penyergap yang dipimpin Raden Harya Sindureja berhasil menyergap pasukan kavaleri Inggris dan menjadi satu-satunya kesuksesan pasukan keraton dalam menghadapi Inggris.

https://paketwisatajogja75.com 
https://paketwisatajogja75.com 

Pada hari yang sama, Raffles mengultimatum Sultan Hamengkubuwana II untuk menyerahkan kedudukan kepada putra mahkota yang selanjutnya ditolak oleh sultan. Pada tanggal 19 Juni 1812, pasukan Inggris mulai membombardir keraton sebagai peringatan, tetapi Sultan Hamengkubuwana II mengabaikannya.

Karena olah Inggris itu, meriam Kiai Nagarunting meledak ketika ditembakkan. Akibat yang ditimbulkan yakni beberapa pengawaknya (anggota brigade Setabel, pasukan artileri keraton) mengalami luka bakar. Gudang amunisi yang dijaga anggota brigade Bugis juga dilaporkan meledak terkena peluru meriam Inggris. Dalam pertempuran antara Inggris dan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 20 Juni 1812 itu dimenangkan oleh Inggris.

Pada keesokan harinya, pasukan Inggris menggunakan tangga-tangga bambu yang disiapkan Kapitan Tionghoa Tan-jin-sing untuk masuk ke dalam keraton. Selain itu, terjadi pula penembakan terhadap plengkung Tarunasura dan pintu Pancasura yang memerparah penyerbuan. Penyerangan itu mengakibatkan banyak keluarga Keraton Yogyakarta yang tewas, antara lain salah satu dari ketiga menantu sultan (KRT Sumadiningrat, panglima pasukan keraton) dan Ratu Kedaton. Saat pasukan Inggris berhasil mengepung kedhaton, Sultan Hamengkubuwana II menyerah dengan berpakaian serba putih. Seluruh perhiasan di tubuh sultan dan rombongannya dilucuti oleh pasukan Inggris.

Pasukan Inggris menjarah keraton dan mengambil naskah-naskah yang tersimpan untuk dibawa ke Inggris. Jumlah naskah-naskah yang dibawa diperkirakan lebih dari 7000 buah. Selain itu, perhiasan, keris, perangkat alat musik di dalam keraton diangkut ke kediaman residen menggunakan pedati dan kuli-kuli panggul. Namun, saat pengangkatan Sultan Hamengkubuwana III, pusaka keris dikembalikan lagi kepada keraton.

***

http://dpad.jogjaprov.go.id 
http://dpad.jogjaprov.go.id 

Setelah perang berakhir, putra mahkota kembali diangkat resmi oleh Inggris sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1812, Raffles mengangkat Natakusuma sebagai Paku Alam I yang menguasai wilayah Pakualaman. Pada tanggal 3 Juli 1812, Sultan Hemengkubuwana II dan kedua putranya, yaitu Pangeran Mangkudiningrat dan Mertasana, dipindahkan ke Semarang dan selanjutnya diasingkan ke Pulau Penang. [Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun