BERMULA dari benih kehidupan yang dipancarkan oleh Nabi Adam ke dalam rahim Ibu Kawa, lahirlah Nabi Sis. Dari Nabi Sis, lahirlah Sang Hyang Bathara Nur Cahya. Dari Sang Hyang Bathara Nur Cahya, lahirlah Sang Hyang Bathara Nur Rasa.Â
Dari Sang Hyang Bathara Nur Rasa, lahirlah Sang Hyang Bathara Wening (Sang Hyang Bathara Wenang). Dari Sang Hyang Bathara Wening, lahirlah Sang Hyang Bathara Tunggal. Dari Hyang Bathara Tunggal lahirlah Sang Hyang Bathara Antaga, Sang Hyang Bathara Ismaya, dan Sang Hyang Bathara Manikmaya.
Sesudah menjadi raja di kahyangan Jong Giri Saloka, Sang Hyang Bathara Manikmaya dikenal dengan nama Sang Hyang Bathara Guru, Sang Hyang Jagad Pratingkah, Sang Hyang Bathara Girinata.Â
Sementara kedua kakak kandungnya yakni Sang Hyang Bathara Antaga dan Sang Bathara Manikmaya yang gagal mengikuti lomba menelan gunung Jamur Dwipa dari Sang Hyang Tunggal tersebut turun di dunia.Â
Baca juga : Prasasti Ligor, Jejak Historis Raja Jawa di Semenanjung Melayu pada Abad Kedelapan Masehi
Sesudah menikah, Sang Hyang Bathara Guru memiliki empat putra dan seorang putri. Anak-anak dari Sang Hyang Bathara Guru, yakni: Sang Hyang Bathara Sambu (anak pertama), Sang Hyang Bathara Brama (anak kedua), Sang Hyang Bathara Mahadewa (anak ketiga), Sang Hyang Bathari Sri (anak keempat), dan Sang Hyang Bathara Wisnu (anak terakhir).
Di tanah Jawa, Sang Hyang Bathara Wisnu menjadi raja bergelar Prabu Set atau dikenal dengan Prabu Setmata. Selain Sang Hyang Bathara Wisnu, di tanah Jawa ada seorang raja yang sakti mandraguna bernama Prabu Watugunung. Raja ini bertahta di kerajaan Gilingwesi.
Ketika menjadi raja, Sang Hyang Bathara Wisnu jatuh cinta dan menikahi Ni Mbok Medang, wanita simpanan ayahnya yakni Sang Hyang Bathara Guru. Karena murkanya, Sang Hyang Bathara Guru mengusir Wisnu dari lingkungan stana.Â
Wisnu yang meninggalkan istana itu memasuki hutan belantara. Di bawah pohon beringin yang tumbuh merimbun di Waringinsapta, Wisnu melakukan samadi dan bertapa.
Baca juga : Perang dan Perebutan Tahta Kekuasaan Raja-Raja Jawa
TTIMBULgara-gara yang teramat dahsyat di negeri Gilingwesi. Gara-gara itu bermula ketika Prabu Watugunung tidak sengaja menikahi ibu kandungnya sendiri yakni Dewi Shinta.Â
Karena permohonan Dewi Shinta yang ingin dimadu dengan bidadari Jong Giri Saloka (Suralaya), Prabu Watugunung yang disertai duapuluh enam saudaranya -- Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigagung, Julung, Sungsang, Galungan, Langkir, Mondhasia, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Wugu, Ringgit, Kulawu, Dhukut, Landhep, Wukir, dan Kuranthil meninggalkan Kerajaan Gilingwesi -- pergi ke kahyangan Jong Giri Saloka untuk melamar salah satu bidadari. Karena lamarannya ditolak oleh Sang Hyang Bathara Guru, Watugunung beserta seluruh saudaranya menggempur kahyangan.
 Menyampaikan pesan pada Sang Hyang Bathara Wisnu yang bertapa di Waringinsapta untuk menghadapi Prabu Watugunung yang berhasil menduduki Jong Giri Saloka. Bila dapat membunuh Watugunung, dosa Wisnu yang tidak sengaja menikahi Ni Mbok Medang akan diampuni.
Mendengar pesan Sang Hyang Bathara Guru yang disampaikan Narada, Sang Hyang Bathara Wisnu bersedia meredam keangkaramurkaan Prabu Watugunung. Akan tetapi sebelum menghadapi raja dari Gilingwesi beserta seluruh saudaranya, Wisnu meminta izin untuk pulang ke Medang.Â
Setiba di tujuan, Wisnu berbahagia. Karena, Ni Mbok Medang istrinya yang sewaktu ditinggalkan tengah mengandung itu telah melahirkan putra laki-lakinya. Oleh Wisnu, anak itu diberi nama Raden Srigati. Sebagaimana ayahnya, anak itu berparas tampan, gagah sentosa, dan sakti mandraguna.
Bersama Raden Srigati, Sang Hyang Bathara Wisnu menghadapi Prabu Watugunung dan seluruh saudaranya. Prabu Watugunung tewas di tangan Wisnu melalui senjata Cakra Baskara. Sesudah Prabu Watugunung tewas, Wisnu diizinkan oleh Sang Hyang Bathara Guru untuk menjadi raja kembali di tanah Jawa. Hidup berbahagia bersama Ni Mbok Medang dan Srigati.
Baca juga : Peninggalan Napoleon Bonaparte hingga Hubunganya dengan Raja Jawa
Oleh Sang Hyang Batahara Guru, Bathara Narada diperintahkan untuk pergi ke Gilingwesi. Menyampaikana kabar pada Shinta bahwa Prabu Watugunung tewas di medan laga. Mendengar berita duka dari Narada, Shinta terpukul hatinya.Â
Karena kecintaanya pada suami dan sekaligus anak kandungnya itu, Shinta menghadap Sang Hyang Bathara Guru. Memohon agar Prabu Watugunung dihidupkan kembali. Permohonan Shinta dikabulkan. Sesudah hidup kembali, Prabu Watugunung diangkat oleh Sang Hyang Bathara Guru untuk menggenapi dewa.
***
SANG Hyang Bathara Guru membuat kebijaksanaan. Sang Hyang Bhatara Wisnu yang menjadi raja manusia beralih tugas menjadi raja makhluk halus. Selama menjabat sebagai raja makhluk halus, Wisnu menguasai delapan wilayah yang meliputi gunung Merapi, Pamantingan (Parangtritis), Kabarehan, Lodaya, Kuwubaleduk, Waringinsapta, Kayulandeyan, dan Roban.Â
Sementara Sang Hyang Bathara Guru yang bernama Sang Hyang Bhatara Brama dinobatkan sebagai raja di Gilingwesi sesudah Prabu Watugunung diangkat sebagai dewa.
Dari Sang Hyang Bhatara Brama, lahirlah Bramani. Dari Bramani (Bremani), lahirlah Tritrusta. Dari Tritrusta, lahirlah Parikenan. Dari Parikenan, lahirlah Manumamasa. Dari Manumamasa, lahirlah Satrukem (Sekutrem). Dari Satrukem, lahirlah Sakri. Dari Sakri, lahirlah Palasara. Dari Palasara, lahirlah Abiyasa. Dari Abiyasa, lahirlah Pandu Dewanata yang beristana di Astina.Â
Dari Pandu Dewanata, lahirlah Arjuna. Dari Arjuna, lahirlah Abimanyu. Dari Abimanyu, lahirlah Parikesit. Dari Parikesit, lahirlah Yudayana. Dari Yudayana, lahirlah Gendrayana. Dari Gendrayana, lahirlah Jayabaya. Dari Jayabaya, lahirlah Jayamijaya. Dari Jayamijaya, lahirlah Jayamisena. Dari Jayamisena, lahirlah Kusumawicitra.Â
Dari Kusumawicitra, lahirlah Citrasoma. Dari Citrasoma, lahirlah Poncadriya. Dari Poncadriya, lahirlah Anglingdriya. Dari Anglingdriya, lahirlah Suwelacala yang menjadi raja di Purwacarita dengan patih Jugul Muda. Dari Suwelacala, lahirlah Sri Mapunggung yang menjadi raja di Purwacarita dengan patih Kuntara (putra Jugul Muda).
Dari Sri Mapunggung, lahirlah Kandiawan. Kandiawan memiliki lima putra -- Panuhun (suka bertani, tinggal di Bagelen); Sandhanggarba (suka berdagang, tinggal di Jepara); Karungkala atau Sang Ratu Baka (suka berburu di hutan, tinggal di Prambanan); Tunggulmetung (suka menyadap nira), dan Resi Ghatayu menjadi raja di Koripan (Kahuripan). Keempat putra Kandiawan itu selalu memberi upeti kepada Resi Ghatayu.
Resi Ghatayu memiliki lima putra -- Rara Suciyan (Kili Suci); Lembu Amiluhur, raja di Jenggala; Lembu Peteng, raja di Daha; Lembu Pangarang, raja di Gegelang; dan Ni Ragil Pregiwongsa. Putra bungsu Resi Ghatayu menikah dengan Lembu Amijaya (raja di Singasari).
Lembu Amilihur berputra Raden Panji yang menikah dengan Galuh Candrakirana (putri Lembu Peteng). Dari perkawinannya dengan Galuh Candrakirana, Raden Panji memiliki putra Dalalean.Â
Dari Dalalean, lahirlah Mundingwangi. Dari Mundingwangi, lahirlah Sang Ra Pamekas. Dari Sang Ra Pamekas, lahirlah Arya Bangah (tetap tinggal di Galuh), dan Jaka Sesuruh (yang diharapkan menjadi raja di Kerajaan Pajajaran, namun kemudian mendirikan dan menjadi raja Majapahit). [Sri Wintala Achmad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H