Hal itu sebenarnya karena ada keinginan. Begitu kan paman Doblang? Kalau ada yang mengatakan begitu. Memang benar. Tetapi dalam hati memang susah juga. Sekarang sudah tua. Mau mencari apa lagi. Lebih baik menyepi agar mendapat ampunan Tuhan.
Lain dengan yang sudah sentausa. Mendapatkan rahmat Allah. Nasibnya selalu baik. Tidak sulit upayanya. Selalu memperoleh hasil. Tuhan selalu memberi pertolongan. Memberi jalan pada semua umatnya. Sehingga memperoleh semuanya. Tetapi manusia tetaplah berikhtiar.
Kita laksanakan, apapun, sekadarnya. Perbuatan yang menyenangkan dan tidak menimbulkan masalah. Karena sudah dikatakan. Manusia wajib ikhtiar. Melalui jalan yang benar. Sembari berikhtiar tersebut. Manusia harus terap awas dan ingat. Supaya mendapatkan rahmat Tuhan.
Ya Allah, ya Rasulullah yang bersifat pemurah dan pengasih. Kiranya berkenan memberi pertolongan. Dalam alam awal dan akhir. Dalam kehidupanku. Sekarang hamba sudah tua. Akhir nanti seperti apa. Kiranya mendapatkan pertolongan Allah.
Kiranya aku mampu sabar dan sentausa. Mati dalam hidup. Terbebas dari semua kerepotan. Angkara murka menyingkir. Aku hanya memohon karunia-Mu. Guna mendapat ampunan. Diberi sekadar keringanan. Aku serahkan jiwa dan raga hamba.
Ajaran dalam Serat Kalatidha
Sekalipun Serat Kalatidha melukiskan tentang keadaan Zaman Gemblung, namun menyiratkan ajaran-ajaran kearifan R.Ng. Ranggawarsita III. Berikut adalah ajaran-ajaran kearifan Ranggawarsita yang dapat kita tangkap dari Serat Kalatidha:
- Bila Zaman Gemblung datang, banyak orang meninggalkan norma-norma. Banyak pemimpin negara dan masyarakat yang baik namun tidak membuahkan kemaslahatan. Para cerdik pandai yang kehilangan keyakinannya kemudian hidup dalam keragu-raguan. Bahkan seorang pujangga kehilangan kewaspadaan. Mudah tergiur dengan janji-janji muluk dari para pemimpin negara. Alhasil, sang pujangga terseret ke dalam kedukaan dan penderitaan.Manakala kehidupan sedang dililit oleh Zaman Gemblung, manusia yang baik disingkirkan oleh negara. Sementara manusia jahat yang suka menjilat-jilat serupa kucing demi pepes ikan itu justru dirangkul oleh negara. Akibatnya banyak punggawa negara dihadapkan pada pilihan yang merepotkan. Tetap bertahan sebagai manusia baik namun disingkirkan, atau berbuat jahat untuk mendapatkan pujian (pangkat) dari rajanya.Pada Zaman Gemblung di mana kebajikan yang tidak pernah membuahkan kebajikan merupakan waktu tepat bagi manusia untuk berserah diri pada Tuhan. Hanya dengan cara demikian, manusia akan selalu ingat pada Tuhan dan waspada terhadap geliat zaman. Hal ini sejalan dengan pandangan Ranggawarsita: "Beruntungnya orang yang lupa. Masih lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada."
- Sekalipun manusia yang berbuat kebajikan tidak pernah melahirkan kebajikan pada Zaman Gemblung, namun tidak boleh untuk berputus asa. Sebaliknya, manusia harus terus berikhtiar untuk menjalani hidup di Zaman Gemblung dengan melakukan kebajikan. Perihal hasil dari ikhtiar tersebut, hendaklah diserahkan kepada kebijaksanaan Tuhan. Inilah sikap optimis dan sangat arif untuk dilaksanakan oleh setiap manusia yang tengah dihadapkan pada zaman kegelapan.
- Agar selalu waras manakala tengah menghadapi Zaman Gemblung, tidak ada langkah bijak selain bersikap sabar untuk mensentausakan jiwa. Dengan selalu sabar, manusia akan menjadi tenang. Dengan ketenangan, manusia akan tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga manusia akan meraih kebahagiaan sejati sekalipun hidup dalam kemelaratan materi dan tidak memiliki jabatan tinggi sebagaimana diraih oleh kaum penjilat dan selalu mengkhalalkan segala cara.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI