Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perang Bubat, Refleksi Kegagalan Sumpah Palapa Gajah Mada

5 Juli 2019   14:20 Diperbarui: 6 Juli 2019   23:04 18634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perang | Diambil dari titiktemu.id

Dalam peristiwa itu, seluruh rombongan Pajajaran tewas dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.

Hingga sekarang, kecelakaan sejarah ini masih dikenang oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada sebagai nama jalan di wilayah tersebut.

Kajian Perang Bubat

BILA mencermati kisah Perang Bubat, Gajah Mada alias Madu adalah pemicu utama timbulnya peristiwa berdarah di lapangan Bubat -- perang antara rombongan Prabu Maharaja Linggabuanawisesa dari Sunda dan pasukan Majapahit. 

Mengingat dalam perang tersebut, raja Hayam Wuruk murni menghendaki Dyah Pitaloka Citraresmi untuk dinikahinya sebagai permaisuri, dan bukan memolitisir Dyah Pitaloka sebagai tanda takluk Linggabuanawisesa yang diklaim oleh Gajah Mada sebagai raja vazal dari Sunda pada Majapahit.

Perang Bubat memberikan citra buruk pada Gajah Mada yang sangat ambisius untuk merealisasikan Sumpah Palapa-nya. Sehingga puncak kejayaan Majapahit pada era pemerintahan Hayam Wuruk itu ternoda berkat Sumpah Palapa Gajah Mada yang orientasinya cenderung untuk memerluas wilayah Majapahit melalui kekerasan dan perang.

Akibat Sumpah Palapa yang berujung pada Perang Bubat yang membawa Majapahit pada puncak kejayaan namun sekaligus memerosokkan citra Majapahit di mata Sunda ke lembah kehinaan.

Karenanya tidak heran bila Hayam Wuruk melengserkan Gajah Mada dari jabatannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi dengan cara halus. Menjauhkan Gajah Mada dari perhelatan politik dari lingkup istana Majaphit.

Demikianlah, Sumpah Palapa yang menjadi bumerang bagi Gajah Mada hingga ia akan dibunuh sebelum mati moksa.

Pada akhirnya, Perang Bubat antara Sunda dan Majapahit menjadi dendam sejarah. Sehingga pada waktu itu, para putri Sunda dilarang untuk menikah dengan pria dari wilayah Majapahit.

Sampai sekarang, nama Gajah Mada dan nama Hayam Wuruk tidak bisa ditemui baik sebagai nama jalan maupun nama perguruan tinggi di wilayah Sunda. [Sri Wintala Achmad] 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun