Pada waktu yang telah diputuskan, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa beserta permaisuri dan beberapa bangsawan istana Sunda berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan Dyah Pitaloka dan sekaligus melangsungkan pesta perkawinan di Ibukota Majapahit.
Tidak terlalu banyak pasukan yang mengiringi perjalanan Prabu Maharaja Linggabuanawisesa ke Majapahit. Perjalanan jauh akan mereka tempuh dari Galuh menuju Ibukota Majapahit yang ada di Trowulan. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai.
Sesampai di pantai, mereka menyaksikan laut berwarna merah darah yang melambangkan bahwa rombongan itu tidak bakal kembali ke negeri kelahirannya. Namun perlambang itu tidak dihiraukan oleh Linggabuanawisesa dan rombongannya.
Berdasarkan catatan sejarah Pajajaran yang ditulis oleh Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis oleh Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan tersebut guna mempererat tali persaudaraan yang sekian lama putus antara Majapahit dengan Sunda. Mengingat Dyah Wijaya yang menjadi pendiri Kerajaan Majapahit dianggap sebagai keturunan Rakeyan Jayadarma (Raja Sunda). Hal ini pula tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3.
Sesudah rombongan Sunda sampai di Pesanggrahan Bubat, datanglah utusan Gajah Mada yang menyampaikan maksud Gajah Mada agar Dyah Pitaloka Citraresmi diserahkan ke Kerajaan Majapahit sebagai tanda takluk Sunda terhadap Majapahit.
Prabu Maharaja Linggabuanawisesa merasa harga dirinya terinjak-injak dengan perlakuan Gajah Mada itu. Namun sebagai seorang pemimpim yang arif, Linggabuanawisesa tidak bertindak gegabah untuk serta merta mengadakan perlawanan di tempat itu. Akan tetapi, kearifan hati Linggabuanawisesa tidak diikuti oleh seluruh anak buahnya.
Dalam situasi demikian, rombongan dari Sunda itu merasa dilecehkan. Karenanya, rombongan dari Sunda itu mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka sebagai pengantin, bukan sebagai tanda takluk Sunda atas superioritas Majapahit.
Menurut Kidung Sunda, Hayam Wuruk disebutkan bimbang atas permasalah itu, mengingat Gajah Mada adalah Patih yang sangat diandalkan.
Terjadilah kemudian insiden antara utusan Prabu Maharaja Linggabuanawisesa dengan Gajah Mada. Perselisihan berakhir dengan dicaci-makinya Gajah Mada oleh utusan Kerajaan Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka sekadar untuk menyerahkan tanda takluk atau mengakui superioritas Majapahit, dan bukan karena undangan sebelumnya.
Para pemimpin yang terdiri dari Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang Pangulu, orang saya, Rangga Kaweni, Orang Siring, Sutrajali dan Jagatsaya naik pitam ketika mengetahui niat Gajah Mada itu. Akhirnya mereka melakukan perlawanan terhadap pasukan Majapahit.