Paska runtuhnya Medang, timbullah Kerajaan Kahuripan di bawah kepemimpinan Airlangga. Pada awal menjadi raja, Arilangga menundukkan Raja Hasin, Wisnuprabhawa (raja Wuratan), dan Panuda (raja Lewa) pada tahun 1030. Namun pada tahun 1032, Airlangga mendapat serangan besar dari putri Raja Panuda yang berkuasa di daerah Tulungagung (1032). Melalui serangan putri Raja Panuda, Kahuripan diporak-porandakan. Bersama Mapanji Tumanggala, Airlangga melarikan diri ke Desa Patakan. Pada tahun yang sama, Airlangga berbalik menaklukkan putri Raja Panuda. Airlangga pun berhasil menaklukkan Haji Wurawari dan menumpas aksi makar Raja Wijayawarma dari Wengker pada tahun 1035.
Pada tahun 1042, Airlangga turun tahta sesudah membagi wilayah Kahuripan menjadi Janggala dan Kadiri. Karena Janggala merupakan wilayah strategis perdagangan, Kadiri berusaha menguasainya. Ketika pemerintahan Mapanji Jayabhaya (1135-1159), Janggala berhasil dikuasai. Karenanya Tumapel yang semula merupakan wilayah Janggala berada di bawah kekuasaan Kadiri.
Semasa pemerintahan Kertajaya (1182-1222), Tumapel dipimpin oleh seorang Akuwu yakni Tunggulametung. Menurut Serat Pararaton, Akuwu Tunggulametung dibunuh oleh Ken Arok. Motivasi pembunuhan itu, karena Ken Arok ingin menikahi Ken Dedes yang diyakini sebagai wahyu keprabon.
Dengan mendapat dukungan para pendeta Buddha dan Hindu yang membelot pada Kertajaya, Ken Arok menyerang Kadiri pada tahun 1222. Akibat penyerangan itu, Kertajaya tewas. Ken Arok kemudian menobatkan diri sebagai raja di Tumapel yang kelak dikenal dengan Singhasari sejak pemerintahan Ranggawuni (Wisnuwardhana).
Selagi berkuasa selama 5 tahun (1222-1227), Ken Arok dibunuh oleh Anusapati yang merupakan putra Ken Dedes dan Akuwu Tunggulametung. Oleh Mapanji Tohjaya (putra Ken Arok dan Ken Umang), Anusapati dibunuhnya. Oleh Ranggawuni (putra Anusapati), Tohjaya berhasil dibunuhnya. Sejak itu, Ranggawuni menjadi raja di Singhasari.
Paska pemerintahan Ranggawuni (1248-1254), Singhasari dikuasai Kertanagara (1254-1292). Semasa menjadi raja, Kertanagara memerluas wilayah kekuasaannya melalui Ekspedisi Pamalayu. Berkat pasukannya banyak dikirim untuk merealisasikan misi itu, Arya Wiraraja yang kecewa karena diturunkan pangkatnya oleh Kertanagara menghasut Jayakatwang (adipati Gelanggelang) untuk memberontak pada kekuasaan Kertanagara. Pemberontakan Jayakatwang berhasil melakukan pemberontakan. Sesudah Kertanagara tewas, Jayakatwang menjadi raja di Daha pada tahun 1293.
Majapahit
Belum lama menjadi raja, kekuasaan Jayakatwang di Daha digulingkan oleh Dyah Wijaya (menantu Kertanagara). Keberhasilan makar Dyah Wijaya tersebut karena memanfaatkan pasukan Tartar dan mendapat dukungan dari para pengikutnya -- Arya Wiraraja, Ranggalawe, Mpu Nambi, Lembu Sora, Mahisa Nabrang, dan lainnya. Sesudah pasukan Tartar diusir dari tanah Jawa, Dyah Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (Wilwatikta) pada tahun 1293.
Pada awal pemerintahan Dyah Wijaya, Majapahit dihadapkan intrik politik yang dilakukan oleh Halayuda atau Mahapati. Berkat ambisinya untuk menjadi Rakryan Mapatih Majapahit, Halayuda menyingkirkan tokoh-tokoh kunci, antara lain: Ranggalawe, Lembu Sora, dan Mpu Nambi. Sesudah ketiga tokoh kunci yang diklaim oleh Dyah Wijaya akan melakukan makar terhadap kekuasaannya itu tewas, Halayuda menjadi Rakryan Mapatih Majapahit semasa pemerintahan Jayanagara (1309-1328). Namun sebelum masa pemerintahan Jayanagara berakhir, Halayuda dibunuh oleh Bekel Jaka Mada (pimpinan pasukan Bhayangkari) yang kelak dikenal dengan Gajah Mada.
Pada era pemerintahan Jayanagara, Majapahit diwarnai dengan intrik-intrik politik internal yang mengarah praktik makar dari para punggawanya. Terbukti pada masa itu muncul makar yang dilakukan oleh Mandana, Pawagal, dan Ra Semi (1316); Mpu Nambi (1316); serta Ra Kuti (1319). Makar Ra Kuti ini mendapat dukungan Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Winehsuka.
Akibat makar Ra Kuti, Jayanagara yang mendapat kawalan Jaka Mada beserta pasukan Bhayangkari mengungsi ke Desa Bedander. Oleh Jaka Mada, makar Ra Kuti berhasil ditumpas. Sesudah kondisi Majapahit kembali aman, Jayanagara kembali ke istana.
Karena menghendaki tahta Majapahit tidak jatuh di luar keturunannya, Jayanagara berhasrat menyunting Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat yang merupakan saudara seayah lain ibu. Hasrat Jayanagara ini ditentang Jaka Mada. Maka muncul penafsiran dari sebagian sejarawan, Jaka Mada yang memerintahkan Ra Tanca (tabib istana) untuk membunuh Jayanagara. Sesudah Jayanagara tewas, Jaka Mada membunuh Ra Tanca. Ini dimaksudkan agar dalang pembunuh Jayanagara tidak diconangi oleh keluarga istana, para punggawa, dan rakyat Majapahit.