Semar Kendhat karya lukis Daryono Yunani sangat menggugah ingatan publik mengenai kepergian Sabdapalon dan Nayagenggong dari Majapahit. Sesudah banyak pemangku jabatan penting di Kerajaan Majapahit lebih disibukkan dengan perang saudara untuk memertahankan atau merebut tahta ketimbang memerhatikan nasib rakyat.
DALAM Serat Darma Gandhul, dikisahkan tentang sejarah Majapahit pada era pemerintahan Prabu Brawijaya V. Pada masa itu, terjadilah perseteruan antara Prabu Brawijaya dan Raden Patah (Jin-bun) putranya yang menjadi adipati di Glagah Wangi (Demak). Naskah tersebut menyatakan bahwa perseteruan antara Prabu Brawijaya dan Raden Patah berujung pada perang Sudarma-Wisuta (perang ayah dan anak).
Akhir perang Sudarma Wisuta, Prabu Brawijaya V mengalami kekalahan ketika melawan Raden Patah yang mendapat dukungan Majelis Dakwah Walisanga. Sewaktu tunduk pada Raden Patah, Brawijaya V tidak dibunuh melainkan dihormati sebagai leluhur yang tinggal di Demak. Muncul dugaan yang bersumber dari cerita tutur, sesudah Brawijaya V takluk pada Raden Patah, Sabda Palon dan Naya Genggong (loro-lorone atunggal) yang ditafsirkan oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai Semar meninggalkan Majapahit.
Dalam jagad pakeliran, Babad Tanah Jawa disebutkan sebagai pamomong raja-raja di tanah Jawa. Menurut cerita tutur, Semar dinyatakan sebagai penguasa bangsa lelembut yang tinggal di Gunung Tidar (Magelang). Namun sumber lain mengisahkan bahwa Semar semula merupakan pendeta Buddha yang meninggal dengan cara moksa dan tinggal di Gunung Srandil, Cilacap.
Sebagai penguasa bangsa lelembut di Gunung Tidar, Semar tidak rela ketika Syekh Subakir yang ingin menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa tersebut dengan menyingkirkan anak buahnya. Namun sesudah Syekh Subakir menanam tumbal berupa tombak Kiai Sepanjang yang dapat melumpuhkan bangsa lelembut, Semar bersedia berunding dengan salah satu anggota Majelis Dakwah Walisanga itu. Hasil perundingan, Semar mengizinkan Syekh Subakir menyebarkan ajaran Islam di Jawa asal tidak dengan cara memaksa. Syekh Subakir sepakat. Sehingga sampai sekarang, belum ada ceritanya bila seorang yang memeluk agama Islam dengan cara dipaksa.
 Dalam perkembangannya, Semar bukan sekadar sebagai penguasa bangsa lelembut atau pamomong raja-raja di tanah Jawa, tetapi juga dimaknai sebagai leluhur orang Jawa. Namun muncul suatu pendapat bahwa Semar melambangkan rakyat atau suara rakyat itu sendiri.
Berbicara mengenai Semar mengingatkan karya lukis Daryono Yunani yang bertajuk Semar Kendhat. Karya tersebut tidak hanya menarik secara visual, namun pula dapat membuka wacana politik bagi publik.Â
Karya dengan visualisasi tokoh Semar yang menggantung diri dapat ditangkap sebagai bentuk kritik mengenai ketidakberesan politik di dalam negeri yang disebabkan terdapat beberapa pejabat dan wakil rakyat lebih memrioritaskan kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, atau partainya ketimbang kepentingan rakyat. Akibatnya, rakyat hidup dalam keputusasaan dan penderitaan panjang.
Semar Kendhat karya lukis Daryono Yunani sangat menggugah ingatan publik mengenai kepergian Sabdapalon dan Nayagenggong dari Kerajaan Majapahit. Sesudah banyak pemangku jabatan penting di Majapahit lebih disibukkan dengan perang saudara untuk memertahankan (merebut) tahta atau jabatan ketimbang memerhatikan nasib rakyat.
Berpijak pada uraian di muka bisa disimpulkan bahwa karya lukis Semar Kendhat cenderung merefleksikan harapan Daryono, agar sejarah Majapahit yang mengalami kehancuran (1527) sesudah ditinggalkan Sabdapalon dan Nayagenggong tidak terjadi di bumi nusantara. [Sri Wintala Achmad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H