Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Matinya Hak Pejalan Kaki dan Hukum Rimba Jalan Raya

24 Januari 2019   01:03 Diperbarui: 24 Januari 2019   01:14 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

LEDAKAN jumlah motor akibat kemudahan  kredit dengan uang muka ringan kian membuat padatnya lalu lintas di jalan raya. Tidak heran, jika sewaktu jam berangkat dan pulang kerja, jalan raya sering mengalami kemacetan. Terlebih bertepatan dengan libur panjang, jalan raya di kota-kota besar akan tampak sibuk sejak pagi hingga malam hari.

Pada dasarnya, kota-kota besar yang memiliki insfrastruktur jalan raya yang dilengkapi trotoar luas dan jembatan penyeberangan tidak bermasalah bagi pejalan kaki. Mengingat pejalan kaki dapat berjalan dan menyeberangi jalan dengan nyaman tanpa mengkhawatirkan keselamatannya.

Sebaliknya kota-kota padat lalu-lintas dengan jalan raya yang tidak memiliki trotoar dan jembatan penyeberangan akan menjadi problem serius bagi pejalan kaki. 

Mengingat banyak pengendara (khususnya, pengendara motor) yang terkesan mengejar waktu sering tidak mengindahkan hak pejalan kaki. Sungguhpun mengetahui pejalan kaki akan menyeberang jalan melalui sebra cross, pengendara seolah tidak memberikan kesempatan.

Bila direnungkan lebih jauh bahwa persoalan dinafikannya hak pejalan kaki bukan semata jalan raya tidak memiliki trotoar atau jembatan penyeberangan, melainkan mentalitas pengendara. Di mana pengendara cenderung mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan pejalan kaki yang ingin menggunakan jalan raya. 

Persepsi ini kian menunjukkan bahwa pemilik SIM (Surat Izin Mengemudi) belum tentu memiliki etika berkendaraan.

Fakta bahwa masih banyaknya pengendara yang belum mengetahui etika ketika menggunakan jalan raya merupakan keprihatinan tersendiri. 

Karenanya harapan untuk perbaikan bertumpu pada pihak kepolisian lalu-lintas. Di mana pengendara bukan sekadar diwajibkan memiliki SIM, namun harus bermentalitas dan bertenggang rasa tinggi pada pejalan kaki.

Di samping itu, pihak kepolisian lalu lintas harus menindak tegas bagi setiap pengendara yang melanggar peraturan, terutama berkendara dalam kondisi mabuk atau main ponsel. 

Selain berbahaya bagi pengguna jalan lain dan khususnya pejalan kaki, pengendara yang mabuk atau sambil berkomunikasi lewat ponsel akan membahayakan diri sendiri.

Pengendara yang menggunakan trotoar untuk berkendara, atau menerjang sebracross ketika akan (tengah) digunakan pejalan kaki untuk menyeberang jalan harus mendapat sanksi tegas dari pihak kepolisian lalu lintas. Dus, selain melanggar peraturan lalu lintas, pengendara tersebut dapat mengancam keselamatan pejalan kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun