TUJUH hari sebelum Lebaran, deretan toko yang mejual pakaian (khususnya pakaian muslim),  seperangkat alat salat, roti kering, atau minuman  kebanjiran pelanggan. Sehingga, jalanan di depan deretan toko itu sering macet karena munculnya parkir motor dan mobil yang memakan badan jalan.
Bukan hanya toko-toko yang kebanjiran pelanggan, pasar pula menjadi tujuan para pembeli. Selain belanja pakaian, roti kering, atau minuman; mereka membeli Sembilan Bahan Pokok (Sembako), daging, bumbu dapur, dll. Mengingat saat Lebaran tiba, pasar sepi karena banyak pedagang turut merayakannya.
Belanja Menyesuaikan PenghasilanÂ
PERSEPSI favorit belanja Lebaran bagi keluarga berpenghasilan tinggi berbeda dengan keluarga berpenghasilan pas-pasan. Bagi saya yang hanya mengandalkan honor menulis baik dari koran maupun penerbit tentu berbeda nilainya dengan gaji pejabat negara, pengusaha sukses, PNS Golongan 4-e, dll.
Berpijak pada realitas di muka, saya tidak menradisikan untuk membeli pakaian baru menjelang Lebaran. Saya pun tidak membeli aneka roti kering dan minuman produk prabrik yang digunakan untuk menjamu tetamu ketika bersilaturahmi. Selain memboroskan uang, membeli hidangan Lebaran semacam roti kering kurang mengundang selera tetamu hingga ingin mencicipinya. Mengingat tetamu sudah memiliki hidangan serupa di rumah.
Spot Belanja yang SederhanaÂ
SEBAGAI penulis berpenghasilan pas-pasan, spot belanja Lebaran terkesan sederhana. Sungguhpun demikian, saya tidak memaksa diri untuk berhutang pada bank pasar atau menggadaikan BBKP sekadar untuk membeli "kesan wah" pada tetamu yang bersilaturahmi.
Pendapa saya ini berpijhak pada suatu pemahaman bahwa hakikat Lebaran tidak mengajarkan hamba Allah untuk gemar mengenakan kedok, melainkan melepas kedok dan seluruh pakaian kemunafikan. Sehingga manusia akan kembali telanjang serupa bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Kembali fitri di hari Lebaran.
-Sri Wintala Achmad-