BANYAK orang bicara soal mitos, akan tetapi belum memahami benar mengenai makna dan pengertiannya. Secara harfiah, mitos mengandung makna kepercayaan, keyakinan, mite, atau dongeng. Dengan demikian, Mitos dimaknai sebagai kepercayaan atau keyakinan masyarakat Jawa yang sulit dibuktikan secara faktual dan rasional.
Beberapa pihak mendifinisikan bahwa mitos merupaan cerita masyarakat tentang suatu kisah berlatar belakang masa silam dan mengandung penafsiran tentang alam semesta beserta makhluk di dalamnya dan dianggap benar-benar terjadi oleh pencerita dan penganutnya.
Banyak mitos yang berkembang di lingkup masyarakat Jawa melalui tradisi tutur. Mitos-mitos yang diasumsikan sebagai warisan leluhur Jawa tersebut tidak hanya dibicarakan, namun pula diyakini kebenarannya. Beberapa contoh mitos yang sering diwacanakan dalam suatu diskusi ringan, semisal: tidak boleh meludahi air sumur, agar bibir tidak sumbing; tidak boleh makan di tengah pintu, agar tidak sial jodoh; dsb.
Mitos NdaruÂ
SEBAGIAN masyarakat Jawa masih mengaitkan Ramadhan -- terutama pada malam terakhir tanggal ganjil -- dengan ndaru. Suatu benda angkasa berwarna biru yang jatuh di suatu rumah di mana salah seorong penghuninya berhasil menyempurnakan ibadah puasanya.
Selanjutnya masyarakat meyakini bahwa ndaru akan muncul di angkasa pada waktu ambang subuh. Karena berharap besar untuk mendapatkan ndaru yang diidentikan sebagai anugerah Allah, banyak orang melakukan lek-lekan (berjaga) semalam suntuk sejak tarawih hingga subuh.
Selagi lek-lekan, orang-orang merasakan suasana malam turunnya ndaru itu berbeda dengan malam-malam biasa. Di naungan langit berhiaskan taburan bebintang, mereka tidak merasakan semilir angin. Satu-satunya yang mereka rasakan, suasana amat senyap dan hening.
Sesekali mata yang mulai lima watt memandang ke langit saat adzan awal berkumandang dari salah satu masjid. Bila tidak melihat ndaru, mereka tetap meyakini bahwa benda angkasa itu turun di tempat lain. Dari sini dapat disebutkan bahwa kepercayaan telah mengalahkan akal sehat.
Ndaru dan Fakta
MALAM amadhan terakhir pada tanggal ganjil. Kaum muslim meyakini sebagai waktu turunnya lailatul qadar --Â anugerah Allah yang senilai seribu bulan. Keyakinan mereka berdasarkan Hadits dari Aisyah yang menyebutkan, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda, yang artinya: 'Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadan.'" (HR. Bukhari 4/225 dan Muslim 1169).
Dari uraian di muka bisa dikatakan bahwa lailatul qadar yang diyakini kaum muslim telah dimitoskan oleh masyarakat Jawa dengan memvisualkannya dalam bentuk ndaru. Melalui mitosisasi ndaru untuk memvisualkan anugerah terbesar dari Allah pada setiap umat-Nya yang telah sempurna melaksanakan ibadah puasa.
Pemitosan (identifikasi) turunnya lailatul qadar dengan turunnya ndaru dinilai wajar bila mengetahui sejarah Islam di tanah Jawa. Di mana sebelum datangnya Islam, masyarakat Jawa menganut kepercayaan lama yang kental keyakinan akan mistik. Karenanya logis bila tejadi sinkretisasi antara keyakinan umat Islam dan kepercayaan masyarakat Jawa.
Ditandaskan bahwa ndaru yang memvisulkan lailatul qadar bisa diklaim sebagai mitos. Namun, mitos terhadap turunnya ndaru pada malam terakhir tanggal ganjil Ramadhan adalah fakta bahwa masyarakat Jawa selalu mengaiktkan kepercayaan dengan mistik. Inlah realitas yang masih kita lihat hingga sekarang. Meskipun mulai samar-samar.
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H