"Kita serahkan pada Tuhan. Bila Ndara Arjuna tak timbul dari Sendang selama tigapuluh hari tiga puluh malam, kita pulang ke Amarta. Apapun nasib yang akan menimpa, kita harus terima."
Gareng, Petruk, dan Bagong sontak terdiam. Dengan tubuh terasa tak bertulang, mereka duduk bersandar pada pohon beringin putih. Sementara Semar masih berdiri di tepian sendang. Sesudah menyaksikan air sendang tidak sepenuh merah, wajahnya secerah matahari yang oleng ke barat. Merangkak perlahan menuju sandyakala.
***
Di dasar sendang Pancawarna bagai sebuah ruang kosong. Tak berpenghuni, selain makhluk-makhluk aneh yang mengepung Arjuna. Raksasa hitam, naga merah, putri bertaring gading, dan harimau putih. Dengan mata api, mereka menatap Arjuna. Lidah mereka menjulur-julur ingin memangsanya.
"Siapakah kalian ini?" Arjuna bertanya dengan nada rendah. "Aku belum mengenal kalian."
"Kami saudaramu sendiri."
"Apakah kalian Supiah, Mutmainah, Amarah, dan Aluamah?"
"Benar."
"Mengapa kalian murka?"
"Sejak fajar menyingsing di ufuk timur, kamu telah menyia-nyiakan hidupkami. Tubuh kami terbakar api puasamu. Kami lapar. Butuh makan."
"Bila kalian ingin makan, tunggu sandyakala tiba!"