"MENULIS itu gampang!" Demikian kalimat sakti yang selalu saya sugestikan pada diri saya agar dapat menulis karya sastra genre apapun -- puisi, cerpen, esai, dan novel. Bahkan kalimat sakti tersebut saya gunakan agar dapat menulis karya tulis yang tidak berhubungan dengan sastra, semisal karya tulis bertema sejarah, kearifan Jawa, budaya tradisi, cerita wayang, dan lainnya.
Kenapa kalimat sakti "Menulis itu gampang" terus saya sugestikan ke dalam diri saya? Mengingat kerja penciptaan, terutama karya sastra, sesungguhnya susah. Sebab itu, saya selalu melawannya dengan mengucapkan dalam hati kalimat "Menulis itu gampang". Sehingga karya sastra yang tengah saya garap bisa dirampungkan. Tidak berhenti di tengah jalan.
Memikirkan estetik, makna implisit, serta kontribusi dalam memberikan inspirasi bagi pembaca. Hal ini merupakan tugas berat namun mulia yang selalu melecut saya untuk terus belajar mencipta karya sastra berstandar kualitatif. Sebagaimana pertama kali saya belajar mencipta karya sastra (puisi) yang dimulai pada tahun 1984.
Sungguhpun terdapat kesamaan dalam proses penciptaan puisi, cerpen, novel, dan esai; namun tetap memiliki perbedaan. Dalam mencipta puisi, cerpen, dan novel; saya selalu menggunakan imajinasi, intuisi, dan sense terlebih dahulu sebelum menggunakan logika saat merevisi.
Sebaliknya dalam mencipta esai, saya menggunakan logika terlebih dahulu sebelum menggunakan intuisi, imajinasi, dan sense saat merevisi. Hal ini dimaksudkan agar esai tidak terkesan kering dan kaku sebagaimana karya ilmiah.
Dalam mencipta puisi, cerpen, dan novel, saya pun selalu menerapkan proses yang berbeda. Di dalam menulis puisi dan cerpen, saya jarang sekali melakukan riset. Namun dalam mencipta novel (fiksi) sejarah atau novel berlatar belakang sejarah, saya sering melakukan riset.
Selain mengunjungi tempat-tempat bersejarah (petilasan), saya membaca buku-buku, menganalisa, dan mereinterpretasi sejarah yang selama ini diyakini sebagai fakta oleh masyarakat awam. Tentu, perinterpretasian sejarah tersebut tidak saya lakukan sembarangan, melainkan melalui analisis panjang.
Dari Riset hingga Reinterpretasi Sejarah
Disinggung di muka bahwa di dalam mencipta novel sejarah, saya sering melakukan riset atau mengunjungi tempat-tempat bersejarah (petilasan), membaca buku-buku, menganalisa, serta mereinterpretasi sejarah yang selama ini diyakini sebagai fakta oleh masyarakat awam.
Melalui buku-buku sejarah, saya dapat memeroleh data sejarah yang bersumber dari berbagai teori para sejarawan. Dari sana, saya dapat membandingkan antara teori satu dengan teori lainnya. Kemudian, saya melakukan analisis lebih jauh tentang teori sejarah dari para sejarawan yang paling mendekati suatu fakta.
Apa yang saya uraikan ini lebih tepatnya sebagai proses pra penciptaan novel sejarah. Sedangkan proses sewaktu penciptaan novel sejarah, saya tidak pernah menulis sinopsis. Mengingat alur cerita telah terekam di dalam memori. Karenanya dalam mencipta novel sejarah, saya menggunakan prinsip "mengalir saja". Kenapa demikian? Karena, banyak hal tak terduga yang akan memberikan wow effect dalam novel tersebut dapat ditemukan.
Sungguhpun demikian, saya selalu melakukan revisi berulang kali sesudah novel sejarah itu digarap. Melalui revisi, novel sejarah yang saya cipta akan memiliki alur lebih dinamis dan gaya penceritaan lebih dahsyat. Itulah gunanya melalukan revisi sesudah novel sejarah dirampungkan. Melelahkan memang, sebagaimana membikin judul. Namun langkah itu harus dilakukan. Demi terwujudnya novel sejarah yang layak baca dan pantas diapresiasi publik.
Dari Novel Satu ke Novel Lain
Dalam pra penciptaan novel sejarah dengan judul (kisah) berbeda tentu memiliki proses kreatif yang berbeda pula. Karenanya, tempat-tempat bersejarah yang saya kunjungi serta buku-buku sejarah yang saya baca juga berbeda. Sungguhpun demikian, proses kreatif dalam pra penciptaan novel sejarah dengan judul (kisah) yang berbeda tetap memiliki prinsip sama yakni menempuh kedua proses itu.
Sebagai gelandangan yang memahami bahwa lingkungan makam harus memberi kenyamanan bagi peziarah atau wisatawan, saya mengikuti perintah juru kunci itu untuk meninggalkan makam. Bukannya pergi dari lingkungan makam itu, tapi melanjutkan tidur sampai sore di area luar benteng makam. Tepatnya, di bangsal depan dekat ruang parkir di bawah naungan pohon Beringin tua (Ringin Sepuh) yang rimbun daunnya.
Selanjutnya sewaktu akan mencipta novel Zaman Gemblung (novel biografi R.Ng. Ranggawarsita III) yang kemudian diterbitkan Diva Press pada tahun 2011, saya yang disertai R. Toto Sugiharto bertemu dengan seorang juru kunci makam R.Ng. Ranggawarsita III (Palar, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah), yang "maaf" belum tahu silsilah sang pujangga.
Menurut juru kunci (tidak perlu saya sebutkan namanya), kalau R.Ng. Ranggawarsita III merupakan putra Prabu Brawijaya (tidak menyebut Brawijaya ke berapa) sang raja Majapahit. Sebagai peziarah yang baik, saya yang pernah membaca literatur bahwa R.Ng. Ranggawarsita III (Bagus Burham) bukan putra Prabu Brawijaya melainkan putra Sudiradimeja (R. Ng. Ranggawarsita II) dan Pajangswara itu hanya mengiyakan.
Dari sini, saya berpikir kalau setiap makam tokoh penting dalam sejarah Jawa (Nusantara) ditunggui oleh seorang juru kunci yang buta sejarah, maka peziarah awam akan terjebloskan ke dalam kesesatan sejarah.Â
Lain juru kunci makam R.Ng. Ranggawarsita III, lain pula juru kunci makam R.Ng. Ngabehi Yasadipura I (Bagus Banjar) dan R. Ng. Yasadipura II (Mas Pajangwarsita/Tumenggung Sastranagara/R.Ng. Ranggawarsita I) di Pengging, Boyolali, Jawa Tengah.
Juru kunci makam yang melek sejarah itu mengisahkan kepada saya tentang hubungan R.Ng. Yasadipura I dan R.Ng. Yasadipura II dengan R.Ng. Ranggawarsita III sesuai dengan yang saya baca dalam buku sejarah. Di mana R.Ng. Yasadipura I merupakan kakek buyut R.Ng. Ranggawarsita III, dan R.Ng. Yasadipura II merupakan kakek R.Ng. Ranggawarsita III. Pengisahan juru kunci tentang silsilah R.Ng. Ranggawarsita III baru benar dan tidak menyesatkan.
Kembali pada proses penciptaan Centhini: Malam Ketika Hujan. Hal paling menarik ketika sedang mencipta novel Centhini: Malam Ketika Hujan, saya melakukan klayapan sambil mengandaikan diri sebagai tokoh Mas Cebolang (putra Syekh Akadiyat dari Padhepokan Sokayasa di kaki Gunung Bisma).
Mendatangi salah satu tempat ziarah di Yogyakarta sebagaimana pernah dikunjungi oleh Mas Cebolang beserta empat orang santri Sokayasa, yakni: Palakarti, Kartipala, Saloka, dan Nurwiti.
Sisi menariknya saat klayapan di beberapa tempat ziarah, saya mulai tahu bahwa sudah terdapat beberapa tempat ziarah yang mirip Gunung Kemukus. Beberapa tempat ziarah itu bukan hanya didatangi para peziarah asli, namun pula para pelacur atau peselingkuh.Â
Fakta ini yang kemudian menginspirasi saya untuk membumbui novel Centhini: Malam Ketika Hujan dengan kisah petualangan seks Mas Cebolang dan peziarah perempuan berstatus janda. Tentu saja hubungan seks antara Mas Cebolang dengan janda itu tidak dilakukan di makam yang masih dianggap sakral (takut kuwalat), melainkan di rumah si janda. Â
Selain tempat-tempat ziarah, saya juga melakukan klayapan ke lokalisasi-lokalisasi liar. Hal ini sekadar ingin mengetahui tentang penyakit kelamin 'sipilis' sebagaimana yang diderita Mas Cebolang. Menurut salah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang saya temui di salah satu lokalisasi liar di Yogyakarta, bahwa penyakit kelamin 'sipilis' itu ditularkan pertama kali oleh lelaki hidung belang. Bukan dari seorang PSK. Mengingat seluruh PSK selalu mengontrolkan kesehatan kelaminnya secara rutin.
Dari sini, saya dapat mengatakan bahwa di era Mas Cebolang, banyak PSK yang tidak memiliki kesadaran akan kesehatan kelaminnya. Selain itu, belum ada Dinas Kesehatan yang melakukan kontrol secara intensif terhadap kesehatan para PSK yang menjadi penghuni lokalisasi-lokalisasi liar.
Dari proses penciptaan novel satu ke novel lainnya yang saya tempuh melalui klayapan ke tempat-tempat ziarah maupun lokalisasi liar tersebut kiranya tidak hanya berguna untuk melengkapi data dalam penciptaan novel, melainkan pula dapat memberikan pengetahuan baru serta pengalaman menarik, unik, dan terkadang getir yang sangat bermanfaat bagi saya di dalam proses kreatif di bidang garap kesusastraan.
Mengantitesa Serat Centhini
Membaca Serat Centhini yang disusun oleh R.Ng Ranggasutrasna, R.Ng Yasadipura II, dan R.Ng Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja, dan Kyai Mohammad di bawah koordinasi Raden Mas Sugandi (Sri SusuhunanPakubuwana V) yang berlatar belakang sejarah Kesultanan Mataram di era pemerintahan Sultan Agung; saya menangkap bahwa tokoh Centhini sekadar menyimbolkan sosok perempuan berpredikat babu yang tidak memiliki kemerdekaan penuh.
Sampai dalam persoalan jodoh, Centhini pun harus mengikuti perintah Syekh Amongraga (Jayengresmi) untuk menikah dengan Monthel (nama asli: Buras). Seorang abdi yang mengikuti pelarian Jayengsari dan Niken Rancangkapi (adik Jayengresmi) ketika Giri Parapen ditaklukkan oleh sepasang panglima perang Kesultanan Mataram -- Pangeran Pekik dari Surabaya (menantu Sultan Agung) dan Ratu Pandansari (putri Sultan Agung).
Novel yang mengisahkan tentang perjuangan Kinanthi atau Nyi Sendhang Klampeyan (tokoh baru yang saya munculkan dan tidak ada dalam Serat Centhini), anak perempuan Centhini dan Monthel, yang menjadi guru di Desa Jurang Jangkung sesudah suntuk menuntut ilmu pada Jayengresmi (putra Ki Bayi Panurta) dan melaksanakan laku spiritual dengan tapa kungkum 40 malam 40 hari di Sendhang Klampeyan.
Melalui novel tersebut, saya ingin menunjukkan bahwa derajat manusia akan terangkat bila melakukan prihatian. Sungguhpun yang memetik buahnya bukan orang tua kandungnya, melainkan anak keturunannya. Pendapat ini dibenarkan oleh orang-orang tua yang sering melakukan prihatian.
Melalui novel Centhini: Perempuan Sang Penakluk di Langit Jurang Jangkung, saya sengaja melakukan antitesa terhadap naskah Centhini yang cenderung memosisikan perempuan sebagai kanca wingking (obyek penderita lelaki). Karenanya melalui novel tersebut, saya menjunjung martabat tokoh-tokoh perempuan, seperti: Ratu Pandansari, Niken Rancangkapti, Niken Tambangraras, Centhini, Dewi Kilisuci, Ganda Arum, dan Kinanthi sebagai manusia pemberani, pejuang, dan imansipator nasib kaumnya.
Penciptaan novel Centhini: Perempuan Sang Penakluk di Langit Jurang Jangkung yang saya lakukan bukan sekadar bertujuan untuk membuat antitesa terhadap peran perempuan dalam Serat Centhini, melainkan pula untuk menyelaraskan realitas kehidupan perempuan pada zamannya.
Di mana di zaman modern, perempuan senantiasa menolak untuk menjadi kancawingking dan sekadar sebagai obyek eksploitasi kaum pria. Akan tetapi, perempuan modern cenderung sebagai sosok pemberani, pejuang, pembaharu, dan imansipator. Sehingga kedudukan antara kaum perempuan dan kaum pria adalah sederajat.
Pengalaman Mistik
Dari semua yang saya kemukakan di atas sekadar bagian dari proses kreatif saya selama menulis novel sejarah (berlatar belakang sejarah). Namun selama menulis novel sejarah, tidak ada pengalaman yang paling menarik selain pengalaman mistik yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang. Pengalaman mistik itu muncul, ketika saya sedang menyelesaikan novel Zaman Gemblung. Novel biografi R.Ng. Ranggawarsita III.
Pada jam 2 dini hari (hari dan tanggalnya saya lupa), ketika saya sedang menyelesaikan kisah meninggalnya R.Ng. Ranggawarsita III, sempat mencium aroma kemenyan jawa yang menyeruak dari luar rumah, tepatnya di luar jendela ruang kerja saya. Aroma kemenyan itu, bukan hanya saya yang mencium, namun pula istri saya yang masih menonton tivi.
"Siapakah gerangan yang membakar kemenyan itu? Apakah aroma kemenyan itu merupakan bentuk interaksi antara saya dengan ingkang swargi (almarhum) Ranggawarsita III?" Sampai sekarang, saya belum berhasil menemukan jawabannya yang pasti.
Peristiwa mistik yang saya alami sewaktu menggarap novel Zaman Gemblung adalah satu-satunya pengalaman paling menarik selama saya terjun dalam penciptaan novel sejarah. Bahkan pengalaman mistik itu tidak pernah saya alami sewaktu menulis cerita hantu (horor) untuk beberapa penerbit di Yogyakarta. Dapat pula dikatakan, bahwa pengalaman mistik itu merupakan pengalaman paling berkesan selama saya menekuni dunia kepenulisan dalam berbagai genre sastra semenjak tahun 1984 hingga sekarang.
Catatatan Akhir
Selain ketiga novel (Centhini: Malam Ketika Hujan, Zaman Gemblung, dan Centhini: Perempuan Sang Penakluk di Langit Jurang Jangkung) yang telah dijelaskan tentang proses kreatif serta pengalaman pra dan ketika penulisannya, saya masih memiliki 4 novel sejarah (berlatar belakang sejarah) yang sudah diterbitkan, yakni: Dharmacinta (Laksana, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska Publisher, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska Publisher, 2012), dan Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012).
Selepas tahun 2012, novel sejarah tampaknya kurang diminati penerbit karena pasarnya mulai sepi. Akibatnya, 4 novel sejarah (berlatar belakang sejarah) saya yang bertajuk Rajawali yangMelintasi Badai, Jaka Satru, Gatoloco Gugat, dan Ranggawarsita: Suluk Sungsang Bawana Balik, sungguhpun sudah dibeli lunas oleh penerbit, namun belum terbit sampai sekarang.
Mengingat novel sejarah kurang diminati penerbit, saya tetap menulis novel, namun tidak lagi bertema sejarah. Sungguhpun tidak lagi menulis novel sejarah, saya yang terlanjur tertarik dengan sejarah mencoba beralih menulis buku-buku sejarah, khususnya sejarah raja-raja (kerajaan-kerajaan) Jawa dan Nusantara.
Tidak saya duga bahwa buku-buku sejarah yang saya tulis tersebut diminati oleh salah satu penerbit di Yogyakarta. Dari situlah, saya memerkirakan bahwa publik mulai lebih tertarik buku sejarah ketimbang novel sejarah.
Dari tahun 2013 hingga 2016, saya lebih memilih menulis buku sejarah ketimbang novel sejarah. Sehingga dalam 3 tahun, saya bisa menulis 12 buku sejarah, yakni: Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu,Babad Tanah Jawa: Dari Nabi Adam hingga Mataram Islam, Sejarah Raja-Raja Jawa,Geger Bumi Mataram, Geger Bumi Majapahit,Sejarah Panjang Perang di Bumi Jawa,Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara, Ensklopedia Raja-Raja Nusantara,Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa,Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga, 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa, dan Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara.
Sungguhpun sudah tidak menulis novel sejarah, namun saya tetap menulis novel dengan tema lain sambil memikirkan novel bertema apa (horor, detektif, silat, atau lainnya) yang bakal booming di era mendatang. Barangkali, pemikiran itu terkesan naif. Namun bagi novelis yang ingin karyanya laku di pasaran, pertanyaan  itu menjadi penting.
Mengingat apa arti menulis novel bila tidak ada penerbit mayor yang mau menerbitkan dikarenakan pasar tidak menghendakinya. Karenanya demi keberlangsungan proses kreatif, seorang novelis harus cerdas di dalam membaca dinamika selera publik yang sangat menentukan kebijakan penerbit di dalam memublikasikan novel dengan tema tertentu. [Sri Wintala Achmad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H