Pada jam 2 dini hari (hari dan tanggalnya saya lupa), ketika saya sedang menyelesaikan kisah meninggalnya R.Ng. Ranggawarsita III, sempat mencium aroma kemenyan jawa yang menyeruak dari luar rumah, tepatnya di luar jendela ruang kerja saya. Aroma kemenyan itu, bukan hanya saya yang mencium, namun pula istri saya yang masih menonton tivi.
"Siapakah gerangan yang membakar kemenyan itu? Apakah aroma kemenyan itu merupakan bentuk interaksi antara saya dengan ingkang swargi (almarhum) Ranggawarsita III?" Sampai sekarang, saya belum berhasil menemukan jawabannya yang pasti.
Peristiwa mistik yang saya alami sewaktu menggarap novel Zaman Gemblung adalah satu-satunya pengalaman paling menarik selama saya terjun dalam penciptaan novel sejarah. Bahkan pengalaman mistik itu tidak pernah saya alami sewaktu menulis cerita hantu (horor) untuk beberapa penerbit di Yogyakarta. Dapat pula dikatakan, bahwa pengalaman mistik itu merupakan pengalaman paling berkesan selama saya menekuni dunia kepenulisan dalam berbagai genre sastra semenjak tahun 1984 hingga sekarang.
Catatatan Akhir
Selain ketiga novel (Centhini: Malam Ketika Hujan, Zaman Gemblung, dan Centhini: Perempuan Sang Penakluk di Langit Jurang Jangkung) yang telah dijelaskan tentang proses kreatif serta pengalaman pra dan ketika penulisannya, saya masih memiliki 4 novel sejarah (berlatar belakang sejarah) yang sudah diterbitkan, yakni: Dharmacinta (Laksana, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska Publisher, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska Publisher, 2012), dan Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012).
Selepas tahun 2012, novel sejarah tampaknya kurang diminati penerbit karena pasarnya mulai sepi. Akibatnya, 4 novel sejarah (berlatar belakang sejarah) saya yang bertajuk Rajawali yangMelintasi Badai, Jaka Satru, Gatoloco Gugat, dan Ranggawarsita: Suluk Sungsang Bawana Balik, sungguhpun sudah dibeli lunas oleh penerbit, namun belum terbit sampai sekarang.
Mengingat novel sejarah kurang diminati penerbit, saya tetap menulis novel, namun tidak lagi bertema sejarah. Sungguhpun tidak lagi menulis novel sejarah, saya yang terlanjur tertarik dengan sejarah mencoba beralih menulis buku-buku sejarah, khususnya sejarah raja-raja (kerajaan-kerajaan) Jawa dan Nusantara.
Tidak saya duga bahwa buku-buku sejarah yang saya tulis tersebut diminati oleh salah satu penerbit di Yogyakarta. Dari situlah, saya memerkirakan bahwa publik mulai lebih tertarik buku sejarah ketimbang novel sejarah.
Dari tahun 2013 hingga 2016, saya lebih memilih menulis buku sejarah ketimbang novel sejarah. Sehingga dalam 3 tahun, saya bisa menulis 12 buku sejarah, yakni: Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu,Babad Tanah Jawa: Dari Nabi Adam hingga Mataram Islam, Sejarah Raja-Raja Jawa,Geger Bumi Mataram, Geger Bumi Majapahit,Sejarah Panjang Perang di Bumi Jawa,Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara, Ensklopedia Raja-Raja Nusantara,Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa,Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga, 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa, dan Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara.
Sungguhpun sudah tidak menulis novel sejarah, namun saya tetap menulis novel dengan tema lain sambil memikirkan novel bertema apa (horor, detektif, silat, atau lainnya) yang bakal booming di era mendatang. Barangkali, pemikiran itu terkesan naif. Namun bagi novelis yang ingin karyanya laku di pasaran, pertanyaan  itu menjadi penting.