Sejak dipecat dari pabrik tekstil karena diduga mencuri kain dari gudang, Mahmud bekerja sebagai tukang aduk pocokan di proyek bangunan. Terkadang ia berangkat seminggu, libur sebulan. Tekadang dapat menafkahi keluarganya sebulan, namun sering memaksanya perihatin tiga bulan.
Melihat Mahmud sering tampak linglung di teras rumah, tetangga kiri-kanannya merasa iba. Terlebih saat Surti mencaci-makinya sesudah dua minggu tidak memberikan uang belanja. SPP bulanan anaknya yang selalu nunggak. Listrik di rumahnya yang disegel PLN karena telat melunasi iuran bulanan.
Menanggung beban hidup yang semakin berat, Mahmud sering berpikir buruk untuk bunuh diri. Namun pikiran buruknya itu ditepis jauh-jauh, berkat petuah Kyai Naswan usai salat tarwih di surau. "Jangan suka berpikir buruk! Kamu akan tersesat di jalan iblis. Berpikirlah positif! Karena kamu akan mendapat cahaya Tuhan. Sekarang, pulanglah! Banyaklah mendarus Qur'an!"
Mahmud keluar dari surau. Pulang ke rumah yang diterangi lampu minyak. Duduk di kursi bambu untuk merenungkan petuah Kyai Naswan. Tanpa menjenguk istrinya yang telah mendengkur, ia melangkah ke senthong. Usai mendarus Qur'an, Ia serasa bertemu dengan Tuhan-nya yang sekian lama tersingsal di bilik hati.
Malam senyap. Mahmud mensujudkan tubuhnya serupa huruf ya'. Menadahkan kedua tangannya sebentuk bunga teratai. Memohon petunjuk pada Tuhan-nya. Di antara jaga dan tidur, ia menyaksikan bintang-bintang yang mengambang di langit berjatuhan di pangkuannya.
***
Menjelang adzan subuh berkumandang dari surau, Mahmud terbangun. Usai salat subuh, ia kembali tidur. Belum sejam memejamkan mata, Surti membangunkan. "Dicari Pak Darsuni, Kang."
Mahmud bangkit dari ranjang kayu. Tanpa membasuh muka di sumur yang bersebelahan dengan dapur, ia menuju ruang tamu. "Ada apa, Pak Dar?
"Apakah hari ini kamu tak ada kerjaan?"
"Bukankah Bapak tahu, kalau aku lama menganggur?"
"Kalau kamu sedang nganggur, aku menawarkan pekerjaan. Merehap teras rumah Pak Nasri."