Filsafat Jawa telah ada sejak era pra sejarah hingga kemerdekaan Indonesia. Pengertian Jawa di sini hanya meliputi wilayah-wilayah yang sekarang dikenal dengan Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur. Sementara Daerah Khusus Ibukota dan Provinsi Jawa Barat tidak termasuk di dalamnya.
Merujuk pendapat Dr. Abdullah Ciptoprawiro dalam bukunya yang bertajuk Filsafat Jawa telah terdapat pola-pola universal yang mendasari filsafat Jawa. Hingga beliau menyimpulkan bahwa pola universal tersebut merupakan usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan.
Bukti filsafat Jawa digunakan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan dapat dilihat dalam pertunjukan wayang dalam lakon Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dalam lakon tersebut, Begawan Wisrawa mengajarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi.
Di lingkup masyarakat Jawa, ilmu filsafat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu diyakini dapat mengubah manusia berwatak raksasa menjadi manusia sempurna. Mengingat ilmu filsafat ini mengajarkan bagaimana manusia yang dikuasai sedulur papat (empat nafsu: aluamah, supiyah, amarah, dan mutmainah) harus mampu mengendalikannya hingga dekat dengan sedulur pancer yakni Tuhan.
Selain untuk mencapai kesempurnaan, filsafat Jawa dapat dijadikan sarana untuk memeroleh kearifan. Kearifan dalam filsafat Jawa dapat dicontohkan dengan etika Jawa yang terdapat pada Serat Pepali Ki Ageng Sela. Menurut Ki Ageng Sela, hidup di dunia harus didasari dengan keutamaan atau keluhuran. Untuk mencapai keluhuran atau keutamaan, manusia harus memerhatikan sembilan sikap, sebagai berikut:
Sembada
Sembada adalah sikap positif manusia yang senantiasa mampu menyelesaikan tugas dan pekerjaannya dengan baik dan tepat pada waktunya. Sehingga seorang yang sembada akan selalu dipercaya orang lain yang memberikan tugas dan pekerjaan. Karenanya, orang yang sembada akan dimudahkan rezekinya.
Sabar
Sabar adalah sikap positif yang menjadi modal bagi manusia untuk mencapai ketenangan hati. Dengan hati tenang, manusia akan mampu mengendalikan nafsunya. Dengan nafsu yang terkendali, manusia akan selamat dari segala bentuk mara bahaya. Dengan sikap sabar, tujuan manusia akan dapat diperoleh pada masa yang tepat. Tidak nggege mangsa.
Andhap Asor
Andhap asor (rendah hati) adalah sikap manusia yang sangat terpuji. Dengan rendah hati, manusia akan dicintai banyak orang. Dengan dicintai banyak orang, manusia akan berpeluang besar di dalam mendapatkan keberhasilan. Mengingat banyak orang akan memberikannya bantuan di dalam meraih keberhasilan.
Sikap rendah hati mencerminkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Karenanya ilmunya yang tinggi, orang tersebut tidak sombong seperti dilukiskan dengan: "Air yang dalam tidak beriak" atau "Padi berisi yang selalu merunduk".
Suka
Suka (suka atau gembira) merupakan sikap manusia yang positif. Dengan rasa suka, manusia akan melakukan aktivitas fisik dan spiritual tanpa beban. Sebab itu, manusia yang selalu bergembira akan awet muda dan sehat baik rohani maupun jasmani.
Karep
Tanpa memiliki karep (keinginan), maka manusia dapat dianggap mati. Karenanya selama masih hidup, manusia niscaya memiliki keinginan baik yang bersifat mulia maupun jahat. Akan tetapi, keinginan manusia yang diajarkan Ki Ageng Sela yakni keinginan untuk berbuat mulia, seperti: menolong kepada sesama, berderma, mendekatkan diri pada Ilahi, dll. Â Â
Dalan Padhang
Sikap manusia untuk selalu mencari dalan padhang (jalan terang) merupakan sikap positif. Yang dimaksud mencari jalan terang yakni mencari petunjuik Tuhan, sehingga manusia senantiasa dapat hidup dalam kebajikan. Tidak tersesat di dalam jurang kemaksiatan dan kejahatan yang penuh dosa.
Tan Jiguh
Tan jiguh (tidak ragu-ragu) merupakan sikap positif yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Dengan sikap tidak ragu-ragu atau yakin merupakan modal besar untuk meraih kesuksesan. Dikarenakan sikap yakin merupakan faktor penentu seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang didambakan.
Tan Ngutuh
Tan ngutuh (tahu malu) merupakan sifat luhur yang layak disandang oleh setiap orang. Dengan tahu malu, setiap orang tidak akan melakukan perbuatan hina seperti melakukan maksiat atau mengambil (mencuri) barang orang lain. Selain itu, setiap orang yang tahu malu akan tidak melanggar etika dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Tan Kumed
Tan kumed(tidak pelit) adalah salah satu sikap positif manusia yang harus dipelihara. Dengan tidak pelit kepada sesama, manusia akan dikenal sebagai dermawan yang selalu memberi pada orang lain tanpa pamrih. Bagi seorang yang suka memberi tidak akan dikurangi, melainkan dilipatgandakan rezekinya. Sebab, siapa yang suka memberi akan menerima. Inilah konsekuensi logis yang jarang diperhatikan oleh beberapa orang. Â
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H