Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Anjing Itu Telah Menjadi Maling

7 April 2018   15:11 Diperbarui: 8 April 2018   15:32 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"..... Bukankah anjing akan mencuri, bila dididik seorang maling?"

Serempak applause seluruh penonton baca puisi di dalam gedung pertunjukan. Fadal Lazuardi, penyair yang bernama asli Suwardi itu turun dari panggung dengan langkah senyap. Wajahnya dingin. Tak melontarkan sekata pun ketika sebagian penonton menanyakan makna baris terakhir puisinya yang baru saja dipanggungkan dengan demonstran.

Fadal mengumpat setengah berbisik, "Bagaimana negeri yang melahirkan banyak maling ini dapat berubah, kalau orang-orang yang suka menonton penyair baca puisi tak paham simbol. Bagaimana mereka akan turut menjaga kekayaan negeri ini agar tak dijarah anjing-anjing berwatak maling, namun selalu menyebut dirinya sebagai penyelamat rakyat."

"Tak sepantasnya kau bilang begitu!" Liztya Maimunah, istri Fadal mengingatkan. "Seharusnya sebagai penyair yang bijak, kau menjelaskan pada mereka tentang makna puisimu itu."

"Kalau aku menjelaskan makna yang terselubung di dalam puisiku, tak perlu aku mencipta puisi."

"Apa gunanya menjadi penyair, bila bahasamu hanya kau sendiri yang paham? Apa artinya kau berapi-api membaca puisi di atas panggung, bila hanya dapat tepuk tangan, pulang tak membawa amplop? Lebih baik jadi buruh aduk di bangunan. Bekerja konkret dan menghasilkan."

Pertanyaan dan merangkap pernyataan Liztya yang melebar ke mana-mana itu dirasakan Fadal melampaui tikaman belati. Karena tak ingin berdebat di depan banyak orang, Fadal membawa istrinya meninggalkan gedung pertunjukan. Sepanjang perjalanan pulang, mereka tak saling bicara. Hanya suara mesin motor butut yang nyempreng. Mengharu-biru suasana malam yang mulai lengang.

Setiba di rumah, perang dingin antara Fadal dan Liztya masih berlanjut. Manakala Liztya memasuki kamar, Fadal masih duduk di ruang tamu. Membuat kopi tak bergula. Mengisap rokok tingwe. Dalam diam, ia merenungkan ucapan istrinya yang sejak mula tak sepakat bila dirinya menekuni profesi penyair.

Berlarut-larut direnungkan, ucapan Liztya semakin mengganggu pikiran Fadal. Hingga saat ia tertidur, ucapan istrinya itu telah menjelma menjadi hantu dalam mimpi. Mengejar-ngejarnya hingga ke kolong jembatan, ke lambung goa, dan ke sebalik rerimbun awan paling pekat. Sungguh malam itu, ia senasib seorang maling yang diburu-buru anjing gila.

***

Berhari-hari Fadal berhelat dengan pikirannya yang berkecamuk. Tak tega melihat Liztya yang bekerja siang-malam sebagai buruh pabrik tekstil untuk memenuhi kebutuhan dapur, Fadal memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan sebagai buruh aduk di bangunan. Melepas profesinya sebagai penyair dengan membakar seluruh puisinya.

Bosan sebagai buruh aduk, Fadal belajar menjadi tukang batu pada Kasmin. Karena bakatnya, ia menjadi tukang batu. Sesudah tiga tahun menjadi tukang batu, ia menekuni pekerjaan baru sebagai mandor bangunan. Dengan modal yang dikumpulkan, ia menjadi pemborong. Sejak itu, keadaan ekonomi keluarganya semakin membaik.

Setiap malam minggu, Fadal yang baru sebulan memiliki Avanza itu selalu membawa Liztya ke pantai. Mampir ke shopping center. Membeli baju, celana, gaun, beha, celdam, hingga sepatu bermerek. Mampir di restoran termewah untuk menikmati hamburger, sosis, dan fried chicken yang tak pernah dirasakan semasih menekuni profesinya sebagai penyair. Habis mengantar istrinya pulang, ia melajukan Avanzanya ke kafe. Ngobrol bersama bos-bos pengembang. Berkaraoke bersama gadis-gadis lacur papan atas. Pulang sesudah teler. Tidur mendengkur serupa babi sampai siang hari.

***

Seratus delapanpuluh derajat, kehidupan Fadal berubah. Oleh tetangga kiri-kanan, Fadal tak lagi diremehkan sebagai presiden penyair yang kere, namun sebagai raja uang. Setiap barang yang diinginkan dapat dibelinya. Setiap tujuannya dapat diwujudkan dengan uang. Tak heran jika ia berhasil menduduki jabatan Kades Slarangsari sesudah membeli tujuhpuluh lima persen suara warga.

Sebagai istri yang mendapat sebutan "Bu Kades", Liztya sangat bangga dengan apa yang dicapai Fadal. Namun kebanggaannya itu hanya seumur jagung, ketika Fadal yang ingin mengembalikan modal saat Pilkades itu terbukti melakukan korupsi atas dana desa. Hampir setiap malam, ia meratapi nasib Fadal yang telah dicopot jabatannya sebagai lurah Slarangsari. Dijebloskan ke dalam penjara paling brengsek.

Hancurlah jiwa Fadal. Hari-hari dalam sel dirasakan Fadal seperti panjangnya waktu di dalam neraka. Setiap malam, ia tak dapat tidur. Hingga suatu waktu, ia ingin mengutuk dirinya dengan baris terakhir puisinya yang dihafal di luar kepala, "Bukankah anjing akan mencuri, bila dididik seorang maling?" Membaca baris terakhir puisinya itu berulang-ulang di depan empat napi yang sesel dengannya.

Empat napi yang semuanya maling itu sontak berang ketika mereka dihubung-hubungkan dengan anjing. Serempak mereka menghunjamkan pukulan ke perut, dada, dan kepala Fadal. Seusai korban tak sadarkan diri, mereka merebahkan tubuh di lantai sel yang dingin. Tertidur. Malam pun hening.

Sore harinya, Fadal siuman. Wajahnya pucat, matanya tak bercahaya. Sering bicara, menangis, dan tersenyum sendiri tanpa sebab. Selalu mengigaukan baris terakhir puisinya yang dihafal di luar kepala itu berulang-ulang saat tidur. Hingga sewaktu Liztya membezuk di penjara, Fadal telah dinyatakan gila oleh para sipir. Mendengar pernyataan itu, ia hanya menghela napas panjang.

-Sri Wintala Achmad-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun