Bosan sebagai buruh aduk, Fadal belajar menjadi tukang batu pada Kasmin. Karena bakatnya, ia menjadi tukang batu. Sesudah tiga tahun menjadi tukang batu, ia menekuni pekerjaan baru sebagai mandor bangunan. Dengan modal yang dikumpulkan, ia menjadi pemborong. Sejak itu, keadaan ekonomi keluarganya semakin membaik.
Setiap malam minggu, Fadal yang baru sebulan memiliki Avanza itu selalu membawa Liztya ke pantai. Mampir ke shopping center. Membeli baju, celana, gaun, beha, celdam, hingga sepatu bermerek. Mampir di restoran termewah untuk menikmati hamburger, sosis, dan fried chicken yang tak pernah dirasakan semasih menekuni profesinya sebagai penyair. Habis mengantar istrinya pulang, ia melajukan Avanzanya ke kafe. Ngobrol bersama bos-bos pengembang. Berkaraoke bersama gadis-gadis lacur papan atas. Pulang sesudah teler. Tidur mendengkur serupa babi sampai siang hari.
***
Seratus delapanpuluh derajat, kehidupan Fadal berubah. Oleh tetangga kiri-kanan, Fadal tak lagi diremehkan sebagai presiden penyair yang kere, namun sebagai raja uang. Setiap barang yang diinginkan dapat dibelinya. Setiap tujuannya dapat diwujudkan dengan uang. Tak heran jika ia berhasil menduduki jabatan Kades Slarangsari sesudah membeli tujuhpuluh lima persen suara warga.
Sebagai istri yang mendapat sebutan "Bu Kades", Liztya sangat bangga dengan apa yang dicapai Fadal. Namun kebanggaannya itu hanya seumur jagung, ketika Fadal yang ingin mengembalikan modal saat Pilkades itu terbukti melakukan korupsi atas dana desa. Hampir setiap malam, ia meratapi nasib Fadal yang telah dicopot jabatannya sebagai lurah Slarangsari. Dijebloskan ke dalam penjara paling brengsek.
Hancurlah jiwa Fadal. Hari-hari dalam sel dirasakan Fadal seperti panjangnya waktu di dalam neraka. Setiap malam, ia tak dapat tidur. Hingga suatu waktu, ia ingin mengutuk dirinya dengan baris terakhir puisinya yang dihafal di luar kepala, "Bukankah anjing akan mencuri, bila dididik seorang maling?" Membaca baris terakhir puisinya itu berulang-ulang di depan empat napi yang sesel dengannya.
Empat napi yang semuanya maling itu sontak berang ketika mereka dihubung-hubungkan dengan anjing. Serempak mereka menghunjamkan pukulan ke perut, dada, dan kepala Fadal. Seusai korban tak sadarkan diri, mereka merebahkan tubuh di lantai sel yang dingin. Tertidur. Malam pun hening.
Sore harinya, Fadal siuman. Wajahnya pucat, matanya tak bercahaya. Sering bicara, menangis, dan tersenyum sendiri tanpa sebab. Selalu mengigaukan baris terakhir puisinya yang dihafal di luar kepala itu berulang-ulang saat tidur. Hingga sewaktu Liztya membezuk di penjara, Fadal telah dinyatakan gila oleh para sipir. Mendengar pernyataan itu, ia hanya menghela napas panjang.
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H