"..... Bukankah anjing akan mencuri, bila dididik seorang maling?"
Serempak applause seluruh penonton baca puisi di dalam gedung pertunjukan. Fadal Lazuardi, penyair yang bernama asli Suwardi itu turun dari panggung dengan langkah senyap. Wajahnya dingin. Tak melontarkan sekata pun ketika sebagian penonton menanyakan makna baris terakhir puisinya yang baru saja dipanggungkan dengan demonstran.
Fadal mengumpat setengah berbisik, "Bagaimana negeri yang melahirkan banyak maling ini dapat berubah, kalau orang-orang yang suka menonton penyair baca puisi tak paham simbol. Bagaimana mereka akan turut menjaga kekayaan negeri ini agar tak dijarah anjing-anjing berwatak maling, namun selalu menyebut dirinya sebagai penyelamat rakyat."
"Tak sepantasnya kau bilang begitu!" Liztya Maimunah, istri Fadal mengingatkan. "Seharusnya sebagai penyair yang bijak, kau menjelaskan pada mereka tentang makna puisimu itu."
"Kalau aku menjelaskan makna yang terselubung di dalam puisiku, tak perlu aku mencipta puisi."
"Apa gunanya menjadi penyair, bila bahasamu hanya kau sendiri yang paham? Apa artinya kau berapi-api membaca puisi di atas panggung, bila hanya dapat tepuk tangan, pulang tak membawa amplop? Lebih baik jadi buruh aduk di bangunan. Bekerja konkret dan menghasilkan."
Pertanyaan dan merangkap pernyataan Liztya yang melebar ke mana-mana itu dirasakan Fadal melampaui tikaman belati. Karena tak ingin berdebat di depan banyak orang, Fadal membawa istrinya meninggalkan gedung pertunjukan. Sepanjang perjalanan pulang, mereka tak saling bicara. Hanya suara mesin motor butut yang nyempreng. Mengharu-biru suasana malam yang mulai lengang.
Setiba di rumah, perang dingin antara Fadal dan Liztya masih berlanjut. Manakala Liztya memasuki kamar, Fadal masih duduk di ruang tamu. Membuat kopi tak bergula. Mengisap rokok tingwe. Dalam diam, ia merenungkan ucapan istrinya yang sejak mula tak sepakat bila dirinya menekuni profesi penyair.
Berlarut-larut direnungkan, ucapan Liztya semakin mengganggu pikiran Fadal. Hingga saat ia tertidur, ucapan istrinya itu telah menjelma menjadi hantu dalam mimpi. Mengejar-ngejarnya hingga ke kolong jembatan, ke lambung goa, dan ke sebalik rerimbun awan paling pekat. Sungguh malam itu, ia senasib seorang maling yang diburu-buru anjing gila.
***
Berhari-hari Fadal berhelat dengan pikirannya yang berkecamuk. Tak tega melihat Liztya yang bekerja siang-malam sebagai buruh pabrik tekstil untuk memenuhi kebutuhan dapur, Fadal memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan sebagai buruh aduk di bangunan. Melepas profesinya sebagai penyair dengan membakar seluruh puisinya.