Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Foto Berbingkai yang Terjatuh di Ruang Tamu

30 Maret 2018   17:59 Diperbarui: 30 Maret 2018   18:20 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: gambarrumahidaman.info)

SEJAK nekad menikah dengan Fandy di KUA tujuh tahun lampau, Nadya tak pernah berkumpul dengan Annemie ibunya. Perempuan paroh baya berdarah blasteran Jawa-Belanda yang tak menyetujui perkawinan Fandy-Nadya itu lebih memilih meningalkan Jakarta. Singgah di rumah warisan mendiang suaminya di bilangan Anna Paulowna, Noord Holand.

Perpisahan dengan Annemie adalah kenestapaan bagi Nadya. Kenestapaan itu kian dirasakan Nadya pada setiap hari lebaran. Karena Nadya tak pernah bertatap muka dengan ibunya untuk mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri sebelum sungkem di bawah lututnya. Benar kata hati Nadya, kalau ibunya masih bersikukuh menolak Fandy sebagai menantunya.

Di hadapan Lily -- anak semata wayangnya yang masih TK 0 Besar -- kenestapaan Nadya merangkak menuju puncaknya. Air mata Nadya yang sederas hujan siang itu membasahi ranum pipinya, saat Lily berulang menanyakan foto berbingkai kayu berukir coklat yang melekat di dinding ruang tamu.

"Kenapa Mama menangis?" tanya Lily polos. "Apakah pertanyaanku salah, Ma? Kalau ya, Lily minta maaf. Lily janji tak akan menanyakan lagi tentang foto perempuan yang wajahnya mirip Mama itu."

Tak ada sepatah kata keluar dari celah setangkup bibir Nadya yang menurut Fandy semerekah mawar di musim bunga. Namun hatinya yang serasa disayat-sayat ribuan silet itu meronta, saat Nadya tak sanggup memberikan jawaban pada Lily. Gadis kecilnya yang kemudian meninggalkan ruang tamu dengan wajah tertunduk lesu.

Selepas Lily, Nadya kembali merasa bersalah karena telah menentang kehendak ibunya untuk tidak menikah dengan Fandy. Seorang pengusaha yang tujuh tahun silam masih hidup dalam kemelaratan. Seorang calon suami yang disangsikan Annemie tak akan sanggup memberi nafkah pada anak perempuannya. Apalagi membahagiakan dengan membelikan rumah dan mobil mewah, atau mengajak tour ke luar negeri sebulan sekali.

Di ruang tamu, Nadya masih merenungi nasibnya sebagai anak malang yang serasa dibuang ibunya sendiri. Tak lama kemudian, Nadya mendengar deru mobil yang tengah diparkir di halaman. Karena berpikir mobil itu milik Fandy, Nadya bergegas menyeka air mata dan keluar dari ruang tamu untuk menyambut suaminya. Di luar dugaan Nadya. Mobil itu bukan milik Fandy, melainkan milik Bram. Kakak kandunganya yang menyempatkan mampir untuk menyampaikan kabar penting.

"Kabar tentang apa, Bang?"

"Mama mau merayakan lebaran di Indonesia."

"Mama hanya akan merayakan lebaran dengan keluargamu kan?"

"Kau salah! Mama akan mengunjungimu sesudah menyadari kesalahannya selama ini. Mama ingin meminta maaf padamu. Terlebih pada Fandy!"

Wajah Nadya sontak senampak bentangan langit resik sesudah menderaskan hujan. "Dapatkah aku pegang kata-katamu, Bang?"

Bram tersenyum tipis sebelum mengeluarkan Android dari saku jaketnya. Sambil menyodorkan Android-nya di depan Nadya, Bram berkata, "Baca sendiri pesan WA dari Mama!"

Membaca pesan WA dari ibunya, Nadya dalam keharuan. Nadya merasa kalau Idul Fitri yang segera tiba akan menjadi berkah bagai hujan pertama di ujung kemarau. Berkah yang akan memertemukan kembali antara Nadya dengan Annemie. Kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

***

TAKBIR menggema di langit malam lebaran. Tidak sebagaimana Fandy dan Lily yang ikut takbiran di masjid, Nadya memilih di rumah. Memersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan Annemie yang akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta jam 9 pagi. Memersiapkan ruang tidur khusus bagi ibunya dan membersihkan ruang tamu.

Sepulang Fandy dan Lily dari masjid, Nadya baru selesai menata ruang tamu. Melihat ada yang aneh pada Nadya, Fandy berseloroh. "Tak seperti malam-malam lebaran sebelumnya, sejak sore tadi kau tampak sibuk sekali? Memangnya akan ada tamu agung esok pagi?"

"Pertanyaanmu sudah mengandung jawaban, Fan."

"Maksudmu?"

"Besok pagi, Mama akan datang ke rumah."

"Tak mungkin. Mamamu yang sangat terhormat itu tak akan sudi datang di rumah kita. Ia sangat membenciku."

"Tidak, Fan. Mama yang telah salah menilaimu selama ini akan datang di rumah kita. Meminta maaf padamu."

Fandy yang belum sepenuhnya percaya perkataan Nadya itu hanya menghela napas sebelum meninggalkan ruang tamu yang berubah lengang. Suasana lengang itu mendadak pecah. Ketika Lily melontarkan pertanyaan yang tak diduga Nadya. "Siapakah Madam Annemie, Ma? Apakah ia, nenek Lily?"

"Benar, Ia yang fotonya selalu kau tanyakan itu, Sayang."

"Jadi...."

"Ya! Foto yang melekat di dinding itu adalah foto nenekmu."

"Kenapa Mama tak pernah mengatakan sebelumnya, kalau foto yang melekat di dinding itu foto Nenek?"

"Waktu belum memungkinkan, Cantik. Tapi kau sekarang sudah mengetahuinya kan, kalau foto itu foto nenekmu," jawab Nadya arif. "Waktu semakin malam. Sekarang kau tidurlah! Sesudah salat Id di masjid esok pagi, kita ke bandara. Menjembut nenekmu."

Dengan wajah berbinar, Lily beranjak dari ruang tamu. Selepas Lily, Nadya mematikan lampu ruang tamu. Karena lelah sesudah siang hingga malam sibuk berkerja di rumah, Nadya segera terbawa ke alam tidur seusai merebahkan tubuhnya di ranjang. Di samping Fandy yang selalu  mendengkur saat tidur.

***

SEBELUM matahari muntah dari rahim malam, Nadya beserta Fandy dan Lily sudah terbangun. Dengan pakaian baru, mereka pergi ke masjid untuk takbiran dan salat Id. Sebagaimana jamaah lainnya, mereka menyimak khotbah dari seorang Kiai tentang makna lembaran hidup baru. Tentang calon pemimpin baru yang diharapkan menjadi nahkoda bagi bahtera bangsa. Tentang harapan baru yang akan membawa perbaikan nasib dari hari ke hari.

Namun harapan yang diserukan Kiai agar dimiliki oleh setiap umatnya itu tak dimiliki Nadya pada hari itu. Harapan akan kedatangan Annemie tinggallah harapan saat mendengar kabar melalui televisi sepulang dari masjid. Kabar tentang tertembaknya pesawat yang ditumpangi Annemie di tepian wilayah udara benua Eropa oleh seorang belum dikenal identitasnya.

Bersama jatuhnya foto berbingkai di ruang tamu yang tak diketahui penyebabnya, langit biru di mata Nadya tampak terselimuti sembilan lapisan awan. Orang-orang yang akan bersilaturahmi pada tetangga kiri-kanan membelokkan arah langkah ke rumah Nadya. Mereka mengerumun di antara Fandy dan Lily untuk menyadarkan Nadya dari pingsan.

-Sri Wintala Achmad-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun