Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Letusan Merapi hingga Pemindahan Ibukota Medang

28 Maret 2018   12:04 Diperbarui: 28 Maret 2018   12:19 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 928 M, Gunung Merapi yang terletak di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah itu meletus dengan dahsyatnya. Aklibat dari letusan itu, istana Kerajaan Medang i Bhumi Mataram yang dikuasai Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (924-928 M) menjadi porak poranda. Menurut beberapa sumber, bangunan Jinalaya (Candi Borobudur) yang dibangun sebelum era pemerintahan Samaratungga (Samaragrawira) hingga masa pemerintahan Pramodhawardhani terbenam oleh banjir lahar dingin.

Van Bammelen berpendapat bahwa letusan Gunung Merapi menyebabkan puncaknya hancur serta lapisan tanah bergeser ke barat daya hingga membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh tersebut merupakan faktor penyebab pemindahan pusat pemerintahan Medang dari Bhumi Mataram ke Tamwlang dan berakhir di Watugaluh.

Lain teori Bammelen, lain teori Boechari. Menurut Boechari bahwa meletusnya Gunung Merapi merupakan kutukan Tuhan atas perebutan tahta kekuasaan Medang yang sering terjadi di antara keluarga istana sejak pemerintahan Rakai Pikatan Mpu Manuku (suami Pramodhawardhani) hingga pemerinthan Rakai Layang Dyah Tulodong.

Peristiwa meletusnya Gunung Merapi, lanjut Boechari, merupakan akhir kekuasaan Dinasti Sanjaya atas Kerajaan Medang. Peristiwa tersebut juga menandai munculnya dinasti baru yakni Wangsa Isana yang dipelopori oleh Mpu Sindok.

Diketahui bahwa Mpu Sindok sebelum menjadi raja Medang periode Jawa Timur, menjabat Rakryan Mapatih Halu di era pemerintahan Dyah Tulodong. Sesudah berjasa dalam membantu makar Dyah Wawa terhadap kekuasaan Dyah Tulodong, Mpu Sindok naik pangkat sebagai Rakryan Mapatih Hino.

Ketika Dyah Wawa yang dinyatakan hilang atau diperkirakan meninggal sewaktu Gunung Merapi meletus, Mpu Sindok menobatkan diri sebagai raja Medang bergelar Rakyan Sri Mahamantri Mpu Sindok Sang Srisanottunggadewawijaya (Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa).

Di awal pemerintahannya, Mpu Sindok yang menikah dengan Sri Wardhani Mpu Kbi (putri Dyah Wawa) itu memindahkan Istana Medang dari Bhumi Mataram ke Tamlang pada tahun 928 M. Hal ini dikarenakan istana lama telah hancur karena letusan Gunung Merapi. Pada tahun 929 M, Mpu Sindok memindahkan kembali istana Medang dari Tamlang ke Watugaluh (Jawa Timur). Hal inilah yang kemudian menandai berakhirnya riwayat Medang periode Jawa Tengah dan berawalnya riwayat Medang periode Jawa Timur yang dikuasai oleh raja-raja dari Dinasti Isana.

-Sri Wintala Achmad-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun