TIDAK ada sumber yang menyebutkan secara pasti tentang kapan Babad Giyanti ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura. Sungguhpun demikian, terdapat perkiraan bahwa Babad Giyanti ditulis antara tahun 1757 sampai 1803 yakni sejak pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana III (1749-1788) hingga pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) di Kasunanan Surakarta. Karena itu, Babad Giyanti dapat ditangkap sebagai rekaman sejarah terpercaya dari seorang pujangga yang hidup pada zamannya.
Sebagai rekaman sejarah terpercaya, kandungan Babad Giyanti layak dikaji. Hal ini dimaksudkan agar kita semakin memahami tentang politik dari para trah Sunan Amangkurat IV yakni Sri Susuhunan Pakubuwana II, Sri Susuhunan Pakubuwana III, Sri Sultan Hanemgkubuwana I, dan KGPAA Mangkunagara I yang memicu Perang Suksesi Jawa III, Perjanjian Giyanti yang menyebabkan Palihan Nagari, dan Perjanjian Salatiga.
Perang Suksesi Jawa III
MELETUSNYA Perang Suksesi Jawa III dimulai sejak Sri Sultan Hamengkubuwana I yang waktu itu masih dikenal dengan Pangeran Mangkubumi (Raden Mas Sujana) sangat kecewa dengan kebijakan Sri Susuhunan Pakubuwana II yang mengurangi tanahnya seluas 3.000 cacah hingga satu nambang. Akibatnya, Pangeran Mangkubumi keluar dari istana Surakarta dan memusuhi Sri Susuhunan Pakubuwana II dan Kumpeni.
Agar hubungan dari kedua trah Sunan Amangkurat IV semakin erat, Sunan Kabanaran menikahkan Pangeran Mangkunagara dengan Raden Ayu Inten putrinya. Ini merupakan pernikahan politik yang sering dilakukan oleh keluarga kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.
Sejak pernikahan Pangeran Mangkunagara dengan Raden Ayu Inten, pasukan Sunan Kabanaran semakin kokoh. Akibatnya, gabungan pasukan Surakarta-Kumpeni yang mendapat dukungan para adipati manca negara selalu mengalami kerepotan saat menghadapi pasukan Sunan Kabanaran. Usaha Kumpeni yang dipimpin Gubernur Baron van Hohendorff (Semarang) untuk menangkap Pangeran Mangkubumi selalu mengalami kegagalan.
Seiring perjalanan waktu, hubungan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunagara mengalami keretakan. Hal itu disebabkan Pangeran Mangkunagara tidak sepakat dengan kebijakan Pangeran Mangkubumi yang memberikan  hukuman  mati pada Tumenggung Suradimenggala (Juwana).
Dalam persepsi Pangeran Mangkunagara, sungguhpun Suradimenggala bersalah karena menghendaki perluasan tanah dari Pangeran Mangkubumi namun tidak seharusnya dihukum mati. Mengingat pengabdian Suradimenggala terhadap Pangeran  Mangkubumi tidak dapat dipandang sebelah mata.
Keretakan hubungan Pangeran Mangkunagara dengan Pangeran Mangkubumi berujung pada perseteruan. Karena Pangeran Mangkunagara yang ingin menguasai tanah Jawa, dukungan politiknya dialihkan kepada Kumpeni. Sejak itu, Pangeran Mangkunagara yang bekerja sama dengan Baron van Hohendorff berseteru dengan Pangeran Mangkubumi.
Ketika pasukan Kumpeni mendapat dukungan pasukan Pangeran Mangkunagara, pasukan Pangeran Mangkubumi sering mengalami kekalahan di medan laga. Sungguhpun demikian, Kumpeni belum mampu menangkap Pangeran Mangkubumi yang dilindungi para punggawa setianya.