NAMANYA Ismail. Sejak berusia tujuh tahun, Ismail bercita-cita menjadi peternak kambing. Karena sekarang masih berusia duabelas tahun dan belum mampu menghasilkan uang sendiri, Abah Ngali ayahnya yang dipercaya sebagai salah seorang pengurus ta'mir masjid di kampung Ngudiluhur itu membelikannya dua ekor kambing. Satu betina, dan satunya jantan.
Setiap pulang sekolah, Ismail pergi ke kandang. Mengeluarkan kedua kambingnya untuk digembalakan di tanah lapang berumput lebat dekat sungai yang tak pernah kering di musim kemarau. Sembari menunggui kedua kambingnya, anak yang tak tertarik dengan android buat facebook-an itu selalu membaca buku. Bukan buku pelajaran, namun buku ternak kambing yang dipinjam dari perpus sekolah.
Menyaksikan Ismail yang amat setia menggapai cita-citanya itu, anak-anak sebayanya selalu menyindir. Sebagian mereka mengatakan, "Ismail, anak udik yang tidak gaul! Kerjanya hanya sekolah dan menggembala kambing."
Sebagaian mereka lainnya mengatakan, "Ismail, bocah bodoh yang hanya menggantung cita-citanya di langit terendah. Kenapa hanya menjadi peternak kambing? Bukan anggota DPR, menteri, atau presiden?"
Sebagai anak yang dididik oleh ibunya untuk selalu berjiwa samudra, Ismail tidak pernah marah atas sindiran kawan-kawannya.
***
MALAM seminggu sebelum 'idul adha, Abah Ngali menghampiri Ismail yang tengah membaca buku pembudidayaan kambing di ruang belajarnya. Kepada anak itu, Abah Ngali meminta kambing jantannya untuk dikorbankan di masjid sesudah pelaksanaan sholat 'id.
"Kenapa kambing jantanku turut dikorbankan, Abah?" Ismail yang kemudian meletakkan buku bacaannya di meja itu menunjukkan perasaan ketidaksukaannya. "Bagaimana aku cepat menjadi seorang peternak, bila kambing jantanku turut dikorbankan? Mana mungkin kambing betina bisa beranak bila tanpa pejantannya?"
"Ismail." Abah Ngali menepuk-nepuk lembut pundak anaknya. "Pernahkah guru agamamu menceritakan tentang keikhlasan Ismail atas jiwa-raganya untuk dipersembahkan pada Tuhan? Ia tidak menolak sama sekali, saat Ibrahim ayahnya akan menyembelihnya demi cintanya pada Tuhan."
"Pernah Abah." Ismail menjawab ringan. "Tapi, aku bukan Ismail putra Ibrahim. Aku, Ismail putra Abah."
"Kalau masih mengaku sebagai anakku seharusnya kamu merelakan kambing jantanmu untuk dikorbankan."