"Lha iya. Masak kamu tak tahu?" Mbah Haji Bustamie tertawa lepas hingga gigi-giginya yang meranggas hitam tampak kelihatan di mata Abah Musyafie. "Tapi, sudahlah! Apa yang kamu lakukan untuk menghidupkan surau ini pasti dicatat Allah, Musyafie. Kata orang Jawa, 'Gusti ora sare.'"
"Mbah Haji...." Abah Musyafie menghela napas. "Aku tidak berharap Allah akan mencatat atau tidak atas apa yang aku lakukan. Satu yang aku harapkan, semoga apa yang aku lakukan ini dapat menghapus dosa-dosaku di masa silam. Hidup sebagai pemabuk ilmu agama, pengetahuan umum, dan politik. Hingga aku lupa kewajibanku sebagai kepala rumah tangga yang harus menghidupi istri dan anak-anak dengan upah kerja. Hingga aku bercerai dengan istriku. Hingga aku berpisah dengan anak-anakku. Hingga aku seperti surau tua ini."
Mbah Haji Bustamie yang tak melontarkan komentar atas penuturan Abah Musyafie lenyap serupa segumpal asap tersapu angin. Jantung Abah Musyafie berdegup kencang. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Dengan langkah bergetar, Abah Musyafie meninggalkan surau itu sesudah menutup pintunya.
***
BENAR kata Mbah Haji Bustamie. Pada malam Ramadhan minggu terakhir, surau tua itu kembali dikunjungi banyak jamaah. Namun anehnya, Abah Musyafie tak melihat Mbah Haji Bustamie datang ke surau itu. Sesudah ditanyakan pada seorang jamaah, Abah Musyafie baru mengetahui kalau Mbah Haji Bustamie adalah pendiri surau itu yang telah meninggal limapuluh tahun silam. Karena sering menampakkan diri di surau itu membuat seluruh jamaah yang ketakutan lebih memilih masjid baru di tengah desa sebagai tempat ibadah.
Abah Musyafie semakin tahu rahasia besar di balik surau tua itu. Namun sebagai seorang yang baru setahun tinggal di Desa Waringinsungsang, Abah Musyafie tidak akan berencana mengundang dukun pengusir roh. Lantaran Abah Musyafie berpikir, "Berkat kecintaannya dengan surau tua itu membuat arwah Mbah Haji Bustamie sering hadir. Bukan untuk menyapu dan mengisi padasan. Namun untuk selalu membersihkan dosa dan memenuhi jiwanya dengan kalimat-kalimat taubat. Kalimat-kalimat arif bagi setiap orang mati yang belum merasa suci, sekalipun sudah mengenakan jubah haji."
Sekian lama Abah Musyafie hanyut dalam pemikirannya sendiri, hingga tak sadar bila jamaah yang menyelesaikan salat tarwih malam itu telah kembali ke rumah masing-masing. Abah Musyafie baru sadar, manakala menangkap suara arwah Mbah Haji Bustamie. "Musyafie, aku titipkan surau tua ini kepadamu. Jadikan tempatmu untuk belajar mencintai Allah ! Hanya dengan mencintai-Nya, kamu akan hidup tenang di usia senjamu."
Selepas suara itu, Abah Musyafie menyaksikan seluruh ruangan surau tua dengan cahaya neon duapuluh watt itu seterang langit dengan seribu bulan. Serupa Bima yang baru saja mendapatkan petuah Ruci, Abah Musyafie merasa dilahirkan kembali dari rahim kegelapan. Sebagaimana matahari baru yang menyembul dari balik bentang bukit timur. Di hari fitri yang sebentar lagi akan tiba.
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H