Parikesit menghirup napas panjang. Menghembuskannya. "Aku tahu, bahwa petaka sudah bergerak seperti pasukan malaikat maut. Menjelma sebagai gelombang. Melipat-lipat gedung-gedung, rumah-rumah, pasar-pasar, pohon-pohon, dan orang-orang yang senasib butiran-butiran pasir di pantai karena badai. Bukankah begitu, Kek?"
Kakek Kresna terdiam. Mengisap sigaretnya kembali. Menghempaskan asapnya. "Karenanya, kamu harus menyelamatkan diri dari petaka ini!"
"Kalau aku harus selamat dari petaka, mengapa Kakek tampak pasrah dengan kematian? Bukankah Kakek sudah memahmi bahwa kematian hakikatnya sepasang mata uang dengan kehidupan? Kematian adalah puncak kehidupan? Sedang, kehidupan sebagai puncak kematian?" Parikesit meraih geretan tua. Menyalakan apinya. Membakar ujung sigaret Kakek Kresna yang hampir padam. "Kalau aku harus meninggalkan rumah, artinya aku bukan cucu Kakek. Apakah Kakek bangga punya cucu berjiwa Kartamarma atau Aswatama, dua lelaki yang takut pada kematian. Padahal mereka telah bernyali besar pada kehidupan? Apakah Kakek tak malu punya cucu yang tak setegar anak-anak kecil dan bayi di gendongan ibunya di seberang jalan sana? Meskipun, petaka telah mereka rasakan tinggal sejengkal bakal sampai di desa kita."
"Maafkah aku yang telah rabun menangkap bentangan jalan kesejatian."
"Tak perlu meminta maaf. Kakek tak bersalah. Kita akan berdosa besar, kalau usia yang tinggal setenggakan teh atau seisapan rokok tak tertuntaskan. Sebagaimana buku yang segera habis aku baca seluruh isinya ini bukan?"
Kakek Kresna terdiam. Dalam diam, Kakek Kresna mendengar jelas teriakan orang-orang dari kejauhan, "Banjir besar! Banjir besar! Banjir besar!"
Tak lama kemudian, Parikesit tidak sadarkan diri. Saat gelombang raksasa melemparkan tubuhnya. Melemparkan tubuh renta Kakek Kresna. Entah sampai ke mana. Parikesit pula tidak tahu penyebabnya, kalau rohnya dan roh Kakek Kresna telah membentuk sepasang makhluk bersayap. Terbang di langit lepas.
***
HARI pertama sesudah petaka. Dari langit, Parikesit menyaksikan hamparan laut. Air menenggelamkan kota, desa, dan sawah para petani. Kelabu-kemerahan. Kapal-kapal hancur. Seluruh bangunan porak-poranda. Ribuan bangkai orang dengan perut membusung serupa balok-balok kayu. Mengapung-apung di permukaan air.
***
HARI kedua sesudah petaka. Parikesit menyaksikan wajah berawan dari kumpulan orang di barak-barak pengungsian. Wajah yang membahasakan bahwa petaka itu hanyalah mimpi buruk. Bukan kenyataan yang harus dihadapi. Suami-suami kehilangan istrinya. Orang tua kehilangan anak-anaknya. Tidak ketinggalan rumah dan harta bendanya. Orang-orang di barak pengungsian kian akrab dengan air mata. Karena, mereka telah diceraikan dengan keluarganya.