Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Retrospeksi Kreator Sastra Wanita Yogyakarta

15 Maret 2018   18:18 Diperbarui: 9 Juni 2019   14:31 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ita Dian Novita (sumber: facebook.com / Arif Doelz)

DALAM khasanan sastra Indonesia, keberadaan wanita bukan sekadar obyek inspiratif bagi para sastrawan (terutama, sastrawan pria).  Banyak wanita telah memosisikan diri sebagai kreator sastra. Hingga memunculkan image kalau kreator sastra Indonesia yang cenderung didominasi kaum pria tersebut telah runtuh di area wacana publik. Tentu saja, hal ini tidak lepas dari perjuangan para kreator wanita, sekadar menyebutkan nama: NH Dini, Oka Rusmini, Ayu Utami, Nenden Lilis Suryani, dll.

Dhenok Christianti (sumber: arsip.tembi.net)
Dhenok Christianti (sumber: arsip.tembi.net)
Nana Ernawati (sumber: https://4.bp.blogspot.com/-PQFHr6yKKa4/VrCcLARLZ6I/AAAAAAAAEwI/QtlOF8pKaks/s1600/Nana%2BErnawati%2B2.jpg)
Nana Ernawati (sumber: https://4.bp.blogspot.com/-PQFHr6yKKa4/VrCcLARLZ6I/AAAAAAAAEwI/QtlOF8pKaks/s1600/Nana%2BErnawati%2B2.jpg)
Tidak dapat dipandang sebelah mata, Yogyakarta berperan besar di dalam turut menumbuhkembangkan kehidpan sastra Indonesia. Sebagaimana beberapa kota lain seperti Jakarta, Bandung, Bali, Lampung, atau Makassar; Yogyakarta telah melahirkan banyak kreator wanita yang muncul pada dekade 80-an, semisal: Dhenok Christianti, Ida Ayu Galuh Petak, Nana Irnawati, Abidah El Khalieqy, Dorothea Rosa Herliany, Rina Ratih Sri Sudaryani, Ulfatin Choiriyah, Sufat Farida, Endang Susanti Rustamadji, Omi Intan Naomi, Choen Supriyatmi, Hotmida Rosmawati Malow, dll.

Dorothea Rosa Herliany (sumber: idwriters.com)
Dorothea Rosa Herliany (sumber: idwriters.com)
Omi Intan Naomi (sumber: koalisiseni.or.id)
Omi Intan Naomi (sumber: koalisiseni.or.id)
Choen Supriyatmi (sumber: facebook.com / YR Landung Laksono Simatupang)
Choen Supriyatmi (sumber: facebook.com / YR Landung Laksono Simatupang)
Pada era 90-an, penulis bangga manakala melihat kuantitas kreator wanita Yogyakarta semakin meningkat. Tingkat kualitas karya-karya mereka pun tidak dapat dikatakan lebih rendah dari karya-karya kreator pria. Beberapa nama kreator wanita tersebut, antara lain: Aning Ayu Kusuma, Nana Tedja, ST Suryani, Ita Dian Novita, Esti Nuryani Kasam, Evi Idawati, dll.

Degradasi

SUNGGUH di luar dugaan kalau spirit penciptaan karya sastra di lingkup kreator wanita pada dekade 2000-an mengalami degradasi secara kuantitas. Persoalan ini mengundang pertanyaan, "Mengapa para kreator wanita Yogyakarta serupa bayi yang lelap tertidur dalam dekapan ibu malam?" Padahal kalau menyimak kehidupan sastra Indonesia yang tidak membeda-bedakan gender tersebut semakin terbuka bagi kreator wanita untuk mengekspresikan karya-karyanya di ruang apresiasi publik.

Aning Ayu Kusuma (sumber: facebook.com / Aning Ayu Kusumawati)
Aning Ayu Kusuma (sumber: facebook.com / Aning Ayu Kusumawati)
Berpijak realitas tersebut, pertanyaan yang muncul di benak saya,"Apakah asumsi sebagian besar pengamat sastra bahwa perkawinan sebagai salah satu penghambat proses kreatif wanita di bidang sastra?" Apabila asumsi tersebut benar, saya tidak lagi berharap besar kepada kreator wanita untuk tetap memilih sastra sebagai medium ekspresi pengalaman empirik literernya. Terlebih menetapkan profesi sebagai sastrawati sepanjang hayat dikandung badan.

Nana Tedja (sumber: kersanartstudio.blogspot.co.id)
Nana Tedja (sumber: kersanartstudio.blogspot.co.id)
Sekalipun demikian, saya senantiasa menghargai kepada para mantan kreator wanita yang pernah singgah di dunia penciptaan karya sastra. Karena mereka telah memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan kehidupan sastra dan membangun image bahwa wanita bukan sekadar pemelihara, melainkan pula pencipta. Mereka pun mampu menyejajarkan diri dengan kreator pria di dalam turut mewarnai kanvas kehidupan dengan sepenuh cipta, rasa, dan karsa-nya. "Bukankah karya-karya mereka yang bertebaran di media massa serta telah diterbirkan dalam bentuk buku senantiasa memiliki keabadian nilai?"

Proses kreatif literer yang dilintasi para mantan kreator wanita niscaya memberikan ketajaman sense, intelektual, serta kearifan pribadi. Sehingga sewaktu mereka memangku jabatan baru sebagai istri atau ibu dapat dijadikan bintang fajar ketika mengarungi bahtera rumah tangga dan membina putra-putrinya. Mutiara hati yang lebih indah dari puisi, cerpen, novel, atau genre sastra lainnya.

Regenerasi

SONTAK tersentak manakala saya memasuki salah satu toko buku terkemuka di Yogyakarta. Di toko buku itu, banyak buku sastra teen-lit (sastra remaja) yang mana penulisnya didominasi nama wanita. Di mana menurut saya, nama-nama keren yang asing di telinga itu jarang dijumpai di lembar sastra ideal (baca: koran, majalah, tabloid, dll). Arkian, saya tidak mampu mengingat nama-nama itu sebagaimana mantri sensus.

Ita Dian Novita (sumber: facebook.com / Arif Doelz)
Ita Dian Novita (sumber: facebook.com / Arif Doelz)
Apabila realitas yang saya lihat di toko buku itu dijamin valid, di mana pengarang buku-buku teen-lit adalah kreator wanita dan bukan nama pena dari para sastrawan mapan yang rela menyerahkan idealismenya pada tuan industri penerbitan, maka saya simpulkan bahwa gairah kreativitas literer di lingkup wanita masih terjaga. Sekalipun, sebagian besar karya sastra yang terkesan bernapas pop tersebut sekadar memenuhi kebutuhan rekreasi publik. Bukan dimaksudkan sebagai media edukasi bagi pembaca.

Evi Idawati (sumber: wikimedia.org/wiki/ Evi Idawati)
Evi Idawati (sumber: wikimedia.org/wiki/ Evi Idawati)
Ibarat orang yang memandang separoh ruang terisi dari separoh ruang kosong pada gelas, saya menilai positif terhadap upaya penerbit di dalam memajukan proses kreatif wanita di bidang sastra. Namun saya berharap agar penulis sastra wanita mendapatkan bimbingan teknis dan metode di dalam menggali ide kreatif. Mengingat kreator sastra bukan sekelompok insan yang cepat puas manakala karyanya sekadar dijadikan medium rekreatif, melainkan selalu memosisikan karyanya sebagai medium pembelajaran bagi diri sendiri dan orang lain. Di sini letak peran kreator sastra yang semestinya turut menopang peningkatan kualitas pendidikan  bagi seluruh manusia.

Guna menopang harapan ini, maka perlu dipikirkan perihal pembentukan sanggar atau kelompok studi sastra bagi kreator wanita. Mengingat pembelajaran sastra di sekolah masih terikat dengan kurikulum serta sistem pembelajaran masih menerapkan metode lama yang kaku dan formal. Di samping, target yang dibidik dalam pendidikan sastra di sekolah lebih mengarahkan siswa sebagai sekelompok insan yang sekadar melek pengetahuan di bidang sastra. Bukan sebagai kreator.

Harapan tentang regenerasi sastrawan wanita sesungguhnya sudah direalisasikan oleh beberapa komunitas pengembang sastra, misal: Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) yang dimotori Joni Ariadinata. Di samping itu, Ragil Suwarno Pragolapati bersama Sanggar Yoga Sastra Pers (SYS) pun membuka program workshop sastra dan peluncuran antologi puisi penyair wanita Yogyakarta -- Risang Pawestri.

Namun. semenjak kerja SSRI tidak lagi segairah pada masa-masa sebelumnya. Sementara sesudah Ragil Suwarno Pragolapati dinyatakan 'hilang' di Bukit Semar Parangtritis pada tahun 1989, maka upaya pembentukan sanggar atau kelompok studi sastra sangat dibutuhkan. Adapun teknik pelaksanaannya, para penggerak sastra dapat bekerjasama dengan penerbit, media massa, dan lembaga-lembaga terkait. Bila kerjasama tersebut terealisasi, maka gerakan sastra di lingkup kaum wanita bukan lagi sebagai mimpi indah di siang bolong. Alhasil, kehidupan sastra di Yogyakarta pun akan kembali berlangsung dan berkembang secara dinamis. [Sri Wintala Achmad]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun