Guna menopang harapan ini, maka perlu dipikirkan perihal pembentukan sanggar atau kelompok studi sastra bagi kreator wanita. Mengingat pembelajaran sastra di sekolah masih terikat dengan kurikulum serta sistem pembelajaran masih menerapkan metode lama yang kaku dan formal. Di samping, target yang dibidik dalam pendidikan sastra di sekolah lebih mengarahkan siswa sebagai sekelompok insan yang sekadar melek pengetahuan di bidang sastra. Bukan sebagai kreator.
Harapan tentang regenerasi sastrawan wanita sesungguhnya sudah direalisasikan oleh beberapa komunitas pengembang sastra, misal: Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) yang dimotori Joni Ariadinata. Di samping itu, Ragil Suwarno Pragolapati bersama Sanggar Yoga Sastra Pers (SYS) pun membuka program workshop sastra dan peluncuran antologi puisi penyair wanita Yogyakarta -- Risang Pawestri.
Namun. semenjak kerja SSRI tidak lagi segairah pada masa-masa sebelumnya. Sementara sesudah Ragil Suwarno Pragolapati dinyatakan 'hilang' di Bukit Semar Parangtritis pada tahun 1989, maka upaya pembentukan sanggar atau kelompok studi sastra sangat dibutuhkan. Adapun teknik pelaksanaannya, para penggerak sastra dapat bekerjasama dengan penerbit, media massa, dan lembaga-lembaga terkait. Bila kerjasama tersebut terealisasi, maka gerakan sastra di lingkup kaum wanita bukan lagi sebagai mimpi indah di siang bolong. Alhasil, kehidupan sastra di Yogyakarta pun akan kembali berlangsung dan berkembang secara dinamis. [Sri Wintala Achmad]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H