INDONESIA Â yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki berbagai ragam kesenian tradisi. Berbagai genre kesenian tradisi yang merupakan produk budaya dari para leluhur setempat tumbuh dan mengembang bagaikan seribu bunga dalam satu taman. Sekalipun diakui bahwa banyak kesenian tradisi mengalami mati suri dan bahkan tidak dikenal lagi oleh masyarakatnya sendiri, dikarenakan semakin menguatnya pengaruh budaya modern (barat).
Terdapat banyak genre kesenian tradisi di Nusantara yang masih dapat dilacak jejaknya. Kesenian-kesenian tradisi tersebut tidak hanya berupa seni tari, namun pula seni musik, seni rupa, seni sastra, seni teater, dan khususnya seni wayang. Sebuah kesenian yang memiliki banyak unsur, antara lain: musik, sastra, rupa, teater, dan tari. Dengan demikian seni wayang dapat dikatakan sebagai mother of arts.
Wayang merupakan salah satu kesenian tradisi Nusantara yang sampai sekarang masih menghiruphembuskan napas kehidupannya, terutama di wilayah Bali, Sunda, dan Jawa. Khususnya di Jawa, seni wayang memiliki berbagai genre, antara lain: wayang golek (wayang tengul), wayang beber, wayang wong, wayang klitik, dan wayang kulit. Berdasarkan ceritanya, wayang kulit masih dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain: wayang kancil, wayang wahyu, wayang purwa, dll.
Diketahui bahwa kehidupan seni tradisi wayang purwa yang masih eksis di Jawa itu menceritakan tentang kisah dalam wiracarita Ramayana gubahan Resi Walmiki dan wiracarita Mahabarata karya Resi Wiyasa. Bila dibandingan dengan kisah Ramayana, kisah Mahabarata lebih mengalami perkembangan yang luar biasa. Bahkan melalui para dalang, kisah dalam Mahabarata dijadikan sumber untuk menggubah cerita-cerita baru yang diistilahkan dengan cerita carangan.
Makna Simbolik dari Setiap Unsur Pertunjukan Wayang
Di dalam pertunjukan seni wayang purwa, setiap penonton akan menyaksikan blencong, kelir, dalang, wiraswara, sinden, wiyaga, dan gamelan, dan wayang. Dari setiap unsur dalam pertunjukan wayang purwa itu memiliki makna simbolik. Berikut adalahmakna simbolik dari setiap unsur dalam pertunjukan wayang:
Blencong
Blencong (lampu untuk pertunjukan wayang di malam hari) yang digantung di atas kepala dalang untuk memberikan pencahayaan pada kelir bermakna simbolik sebagai cahaya kehidupan atau matahari bagi dunia. Dengan demikian, blencong yang menyala itu memberikan petunjuk bahwa kehidupan tengah berlangsung. Bila blencong padam, maka berakhirlah kehidupan.
Kelir
Kelir adalah layar putih yang membentang di antara dua deretan wayang. Pada kelir tersebut, seorang dalang akan memainkan wayang-wayang. Secara simbolik, kelir bermakna sebagai alam dunia, dimana seluruh wayang (seluruh makhluk hidup ciptaan Tuhan, antara lain: manusia, binatang, atau tumbuhan) tengah melakukan aktivitasnya atau melangsungkan kehidupannya.
Dalang
Wiraswara, Sinden, Wiyga, dan Gamelan
Wiraswara, Sinden, Wiyaga, dan Gamelan dalam pertunjukkan wayang purwa tidak memiliki makna khusus secara simbolik. Sekalipun keberadaan Wiraswara, Sinden, Wiyaga, dan Gamelan hanya sebagai pelengkap sekunder dalam pertunjukan wayang purwa; namun dapat menjadi faktor pemikat pada setiap penonton. Dengan demikian; Wiraswara, Sinden, Wiyaga, dan Gamelan dapat dimaknai sebagai garam di dalam kehidupan wayang.
Wayang
Wayang adalah boneka-boneka yang dibuat dari kulit kerbau. Melalui seorang dalang, wayang-wayang tersebut dimainkan dengan latar belakang kelir di panggung kehidupannya. Wayang dimaknai sebagai bayangan yang dapat ditangkap oleh penonton dari belakang kelir. Namun dalam perkembangannya, pertunjukan wayang ketika dimainkan kini disaksikan oleh penonton dari depan kelir. Sehingga wayang tidak lagi dimaknai sebagai bayangan, melainkan figur makhluk Tuhan itu sendiri.
Wayang sebagai Teladan
Melalui wiracarita Ramayana dan Mahabarata dapat diketahui bahwa wayang merupakan simbol dari makhluk Tuhan (salah satunya manusia) yang berkarakter baik (protagonis) dan berkarakter jahat (antagonis). Di dalam naskah Ramayana, wayang-wayang yang berkarakter baik adalah pengikut Rama Wijaya (Raja Ayodia). Sebaliknya, para pengikut Rahwana (Raja Alengka) diklaim memiliki karakter jahat. Sekalipun beberapa pihak mengatakan, bahwa kedua adik Rahwana yakni Kumbakarna dan Wibisana berkarakter baik tidak sebagaimana Sarpakenaka.
Sementara dalam naskah Mahabarata, wayang yang berkarakter baik diklaim sebagai pengikut Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) dari Amarta. Sebaliknya, wayang berkarakter jahat adalah pengikut Korawa (Duryudana dan 99 adiknya) dari Hastinapura. Sekalipun terdapat tiga tokoh yang berpihak pada Hastinapura seperti Resi Bisma, Baladewa, dan Karna berkarakter baik.
Berangkat dari setiap tokoh wayang memiliki karakter, maka pertunjukan wayang memiliki tujuan tidak hanya sebagai tontonan(hiburan), namun pula sebagai tuntunan (pembelajaran) yang sarat dengan tatanan (pakem) bagi setiap penonton. Dengan demikian sesudah menyaksikan pertunjukan wayang, seorang penonton arif akan meneladani laku hidup dari setiap tokoh wayang yang berkarakter baik.
Terdapat banyak tokoh wayang berkarakter baik. Namun dalam buku ini, penulis hanya akan menampilkan duapuluh lima tokoh wayang baik dari wiracarita Ramayana maupun Mahabarata sebagai figur yang layak untuk diteladani. Keduapuluh lima tokoh wayang tersebut adalah sebagai berikut:
YudistiraÂ
Dari gagrak pakeliran Jawa, Yudirtira merupakan putra Kunthi Nalibrata yang lahir berkat benih dari Sang Hyang Bathara Darma dan bukan dari Pandu Dewanata (Raja Hastinapura pasca pemerintahan Kresna Dwipayana/Abiyasa).
Sebagai putra Sang Hyang Bathara Darma, Yudistira yang dikenal dengan nama lain Puntadewa, Samiaji, Wijakangka, atau Darma Kusuma tersebut memiliki sifat dermawan atau di dalam istilah Jawa sering disebut dengan lila donya lan pati. Selalu mengikhlaskan harta, benda, dan bahkan kematiannya sendiri, jiklau ada orang lain yang menghendaki.
Kresna
Kresna yang bernama kecil Narayana itu merupakan putra dari Prabu Basudewa dari Kerajaan Mandura. Kresna memiliki kakak bernama Kakrasana yang kelak menjadi Raja Mandura dengan gelar Prabu Baladewa, serta memiliki adik perempuan bernama Lara Ireng (Subadra), istri dari Arjuna.
Selain sebagai Raja Dwarawati, Kresna yang menggunakan gelar Sri Bathara Kresna menjabat sebagai penasihat Kerajaan Indraprasta. Manakala terjadi perang besar antara Korawa dan Pandawa yang dikenal dengan Baratayuda, Kresna yang mendapatkan anugerah dari Sang Hyang Bathara Guru berupa Kitab Jitabsara itu menjadi botoh para Pandhawa.
Sebagai titisan Sang Hyang Bathara Wisnu, Kresna memiliki sifat memelihat alam semesta (hamemayu hayuning bawana). Selain itu, Kresna dikenal sebagai seorang politikus cerdas dan bijak; memiliki kesaktian tak tertandingi karena memiliki pusaka Cakra Baskara, dapat menghidupkan orang mati sebelum waktunya karena memiliki pusaka Kembang Wijayakusuma, dan mampu mengetahui segala sesuatu bakal terjadi karena memiliki pusaka Kaca Paesan.
Baladewa
Baladewa merupakan putra dari Prabu Basudewa dari Kerajaan Mandura. Baladewa yang memiliki nama kecil Kakrasana itu memiliki adik bernama Narayana (Kresna) dan Lara Ireng (Subadra). Sesudah Prabu Basudewa turun takhta, Kakrasana dinobatkan sebagai Raja Mandura dengan menggunakan gelar Tiyang Agung Mandura Prabu Baladewa.
Sehingga Baladewa yang kemudian dikenal dengan nama Wasi Jaladara itu muncul tatkala Parikesit (putra Abimanyu dan Dewi Utari) menjabat sebagai Raja Hastinapura. Namun terdapat sumber yang mengatakan, bahwa Baladewa muncul menjelang akhir perang Baratayuda. Pada saat itu, Baladewa menjadi juri atas perang tanding kedua muridnya, yakni: Bima dan Doryudana.
Sekalipun dikenal memiliki sifat emosional, namun Baladewa yang dikenal dengan nama Balarama (pengikut ajaran Rama Wijaya sesudah mendapatkan pusaka Mahkotarama) memiliki sifat tegas dan jujur. Disamping itu, Baladewa memiliki kesaktian luar biasa sehingga ditakuti oleh musuh-musuhnya.
Karna
Karna merupakan putra Kunti Nalibrata yang lahir dari benih Sang Hyang Bathara Surya. Sekalipun Karna merupakan kakak sekandung dari Puntadewa, Bima, dan Arjuna; namun tidak memiliki jalinan fisik yang dekat dengan saudara-saudaranya. Hal ini dikarenakan sewaktu bayi merah, Karna yang bernama kecil Suryatmaja (putra Surya) itu dijauhkan dari Kunti oleh Basudewa dengan dibuang di Sungai Aswa (Mahabarata) atau Sungai Swuligangga (Pewayangan Jawa). Sesudah dibuang, Karna ditemukan dan diangkat sebagai putra oleh Adirata. Seorang kusir kereta dari Negeri Hastinapura.
Sesudah Kalakarna (Raja Awangga) yang menghendaki Dewi Surtikanti sebagai istrinya itu berhasil dibunuh oleh Arjuna, Karna tidak hanya dinikahkan oleh Arjuna dengan Dewi Surtikanti, namun pula diperintahkan untuk menjadi Raja di Awangga. Karena Doryudana mengalah untuk tidak menikahi Surtikanti, maka ia meminta Karna untuk menjadi raja bawahannya. Karna menyanggupi permintaan Doryudana. Karenanya pada waktu Baratayuda, Karna berpihak di kubu Korawa. Pilihan Karna tersebut mencitrakan, bahwa ia adalah seorang ksatria sejati yang bersifat tidak suka ingkar janji. Di samping itu, kepahlawanan Karna dalam Baratayuda tidak bertujuan untuk membela Korawa yang dianggap salah, namun membela janji dan bumi Hastinapura yang telah memberi kehidupan baginya.
Bisma
Bisma yang memiliki nama kecil Dewabrata itu merupakan putra dari Prabu Sentanu dan Dewi Gangga. Karena lebih memilih jalan hidup sebagai pertapa, Bisma tidak bersedia menjadi Raja Hastinapura. Dengan demikian, takhta kekuasaan Hastinapura diduduki oleh Kresna Dwipayana (putra Palasara dan Dewi Lara Amis/Dewi Satyawati).
Sebagai seorang pertama, Bisma memiliki sifat arif dan bijaksana. Karenanya sewaktu terjadi perang Baratayuda, Bisma yang menjadi panglima perang dari Kerajaan Hastinapura itu tidak membela Korawa, melainkan membela tumpah darahnya. Prinsip keksatriaan Bisma itu sejalan dengan prinsip keksatriaan Adipati Karna (Mahabarata) atau Kumbakarna (Ramayana).
BimaÂ
Bima yang memiliki nama lain Wijasena, Werkudara, atau Bratasena merupakan putra Dewi Kunti yang lahir berkat benih dari Sang Hyang Bathara Bayu. Karenanya, Bima merupakan saudara sekandung dengan Karna, Puntadewa, dan Arjuna. Selagi masih berusia muda, Bima berguru pada Drona. Melalui gurunya itu, Bima berhasil mendapatkan tirta perwita sari (ilmu sejati) dari Sang Hyang Bathara Ruci yang berada di dasar samudera.
Pada saat Perang Baratayuda, Bima menjadi panglima perang Indraprasta. Banyak panglima perang Hastinapura yang tewas di tangan Bima. Mereka adalah Dorsasana, Sengkuni, dan Doryudana sendiri. Pasca Baratayuda, Bima mengikuti saudara-saudaranya untuk menjalankan lelana brata di Gunung Himalaya.
Bima yang bertubuh tinggi besar dengan suara besar menggelegar itu memiliki sifat pemberani, jujur, dan kokoh dalam pendirian. Sekalipun tidak memiliki IQ yang tinggi, namu Bima memiliki EQ yang hebat. Sehingga Bima memiliki sifat yang baik untuk selalu menghargai pada sesama dan melindungi rakyat kecil.
Arjuna
Arjuna yang memiliki nama lain Janaka, Wijanarka, Permadi, atau Margana terseburt merupakan putra Kunti yang lahir berkat benih Sang Hyang Bathara Indra (dewa air). Dengan demikian, Arjuna masih merupakan saudara sekandung dengan Karna, Puntadewa, dan Bima.
Sewaktu perang Baratayuda, Arjuna menjadi panglima perang Indraprasta. Karena kesaktiannya, Arjuna yang memiliki pusaka cambuk Kyai Pamuk, keris Kyai Pulanggeni, keris Kyai Balairagas, panah Kyai Bramasta, dan panah Kyai Pasupati itu mampu membunuh para senapati Hastinapura, salah satunya Adipati Karna.
Selain sakti mandraguna, Arjuna dikenal sebagai ksatria yang memiliki sifat lembut, arif, dan dermawan. Karena sifat-sifat baiknya itu; maka empat punakawan yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong lebih dekat dengan Arjuna ketimbang dengan keluarga Pandawa lainnya.
Sadewa
Sadewa merupakan putra Dewi Madrim yang lahir berkat benih dari Dewa Aswin. Sadewa memiliki saudara kembar bernama Nakula. Pada perang Baratayuda, Sadewa dan Nakula memiliki andil besar dalam menaklukkan Prabu Salya. Sesudah kelemahan Prabu Salya dilaporkan oleh Sadewa dan Nakula, maka Yudistira dapat membunuh Prabu Salya yang berpihak pada Korawa dengan pusaka Kalimasada.
Hanoman
Dalam Pewayangan Jawa, Hanoman disebut sebagai putra Sang Hyang Bathara Guru yang lahir dari rahim Dewi Anjani. Hanoman yang dikenal dengan Resi Mayangkara itu tidak berwujud manusia, melainkan berwujud kera berpulu putih yang memiliki kesaktian sangat luar biasa.
Semar
Semar yang sesungguhnya dewa bernama Sang Hyang Ismaya itu merupakan putra dari Sang Hyang Tunggal. Sesudah gagal mengikuti sayembara menelan dan mengeluarkan Gunung Jamurdipa dari perutnya sebagai persyaratan menjadi Raja Kahyangan Jong Giri Saloka, Semar turun di dunia untuk menghamba dan menjadi pamomong keturunan Manumanasa.
Sekalipun berstatus sebagai kaum sudra, Semar tidak miskin secara mentalitas. Disamping itu, Semar yang berkepribadian baik itu selalu mengajarkan ilmu-ilmu kearifan pada keluarga Pandawa. Sehingga oleh keluarga Pandawa, Semar kemudian dianggap sebagai pusaka yang layak dihormati. Keberadaannya di Negeri Indraprasta, Semar sering menjadi perisai atas serangan berbahaya dari Bathara Kala yang selalu berusaha untuk menyantap para Pandawa.
Sekadar Catatan Akhir
Melalui sepuluh tokoh wayang berkarakter baik yang telah sekilas diuraikan di muka, diharapkan pembaca akan dapat mengambil manfaatnya. Selain pula akan mampu mengenal lebih jauh tentang ke seluruh tokoh wayang tersebut, pembaca akan bisa meneladani perilaku mereka. Suatu perilaku positif yang berpotensi memberikan kontribusi dalam membangun kepribadian dan mentalitas bangsa.
Untuk melengkapi kandungan di dalam buku ini, penulis sengaja menghadirkan tokoh-tokoh wayang berkarakter positif (protagonis) lainnya, serta tokoh-tokoh wayang berkarakter jahat (Antagonis). Tokoh-tokoh wayang protagonis, antara lain: Abimanyu, Gatotkaca, Antasena, Wisanggeni, Setyawati, Subadra, Srikandi, Kalabendana, Rama Wijaya, Sita, Kumbakarna, Wibisana, Gareng, Petruk, dan Bagong.Â
Sementara tokoh-tokoh wayang antagonis, yakni: Sengkuni, Drona, Doryudana, Dorsasana, Rahwana, Jarasanda, Durga, Sarpa Kenaka, Bathara Kala, dan Togog. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perbandingan antara tokoh wayang berkarakter baik dan berkarakter jahat kepada pembaca. Dari sanalah, pembaca akan semakin memahami bahwa wayang merupakan media pembelajaran yang sempurna, dimana baik-buruk menyatu pada sebentang kelir putih.
-Sri Wintala Achmad-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H