"Pertanyaan yang mana?"
"Kenapa Nenek tampak sangat sedih? Apa karena tak dapat melihat helikopter-helikopter itu?"
Sangli mengangguk.
"Nenek bohong!"
Sangli menggeleng.
"Jangan mengelak, Nek!" Badrul mengerling kedua mata Sangli yang berusaha keras untuk menyembunyikan duka hatinya. "Aku tahu kenapa Nenek bersedih hati. Bukankah Nenek sedang memikirkan ayah yang akan dieksekusi mati di Pulau Kematian? Jangan bersedih, Nek! Ayah akan mengurangi sedikit dari setimbun dosanya. Karena satu nyawa Ayah belum cukup untuk menggantikan ribuan nyawa korban pengeboman yang tak berdosa itu."
Sangli terhibur dengan perkataan Badrul. Maka sejak hari itu, Sangli tak lagi memikirkan nasib Dumadi yang akan dieksekusi mati di Pulau Kematian. Sangli berusaha keras untuk merelakan kematian Dumadi. Dengan merelakannya, Sangli berharap agar mendiang Dibya segera menemukan jalannya ke surga.
Hari-hari melintas tak terkendali. Sangli meyakini kalau Dumadi yang dibawa salah satu dari ketiga helikopter menuju Pulau Kematian sebulan silam itu telah dieksekusi mati. Sangli semakin yakin, ketika tetangga kiri-kanannya yang rajin menonton televisi itu menceritakan kalau Dumadi telah dieksekusi bersama para pesakitan lainnya. Mendengar cerita itu, Sangli berusaha membendung air matanya. Namun berkat kematian Dumadi, Sangli yang kemudian mendapatkan bisikan gaib lewat mimpinya itu sedikit terhibur. Mendiang Dibya telah menemukan jalan ke surga.
Kebahagian Sangli tak berlangsung lama. Sebagai ibu yang telah melahirkan Dumadi, Sangli sangat tersinggung ketika mayat Dumadi tak diperbolehkan orang-orang untuk dikuburkan di Desa Brebek. Karenanya, Sangli yang terpaksa mengikuti saran Badrul itu segera menguburkan mayat anaknya ke sepetak ladang warisan Dibya di tepian desa.
 Selepas pemakaman Dumadi, Sangli kembali menghadapi masalah. Mayat Dumadi yang telah dikubur itu kembali menjadi teroris. Roh halusnya menjelma seekor burung hantu bermata api  yang memasuki setiap rumah penduduk. Burung kematian yang mengintai nyawa orang-orang  tengah tertidur pulas di tengah malam . Karena tak tahan dengan sebutan "Ibu Teroris" dari tetangga kiri-kanannya, Sangli meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Badrul. Tak pernah kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H