Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Roh Dumadi yang Menjelma Burung Kematian

8 Maret 2018   18:53 Diperbarui: 8 Maret 2018   19:03 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: burungue.blogspot.co.id

LANGIT bergemuruh. Tiga helikopter yang terbang rendah menuju Pulau Kematian itu memecah pagi. Hingga orang-orang Desa Brebek yang masih menuntaskan mimpinya di balik selimut tebal itu sontak terbangun. Mereka bertanya-tanya dalam hati, "Apakah akan ada perang?"

Sangli. Perempuan tua yang pernah mengalami getirnya nasib di zaman penjajahan itu bergegas beranjak dari tempat tidur. Setengah terhuyung, Sangli berjalan menuju halaman rumah. Sebagaimana tetangga kiri-kanannya, Sangli menengadahkan wajah yang berkeriput itu ke langit. Kedua matanya tak menangkap ketiga helikopter yang masih meninggalkan jejak suaranya.

"Kenapa Nenek terus menatap langit? Helikopter-helikopter itu telah pergi." Badrul, cucu Sangli menatap keriput pipi neneknya yang mulai basah air mata. "Kenapa Nenek menangis?"

Sangli yang tak menggubris pertanyaan Badrul itu terus menatap titik kulminasi langit. Sepasang matanya yang tak lagi melacak bayangan ketiga helikopter itu menangkap sosok Dibya. Bayangan mendiang suaminya yang tujuhpuluh empat hingga tujuhpuluh delapan tahun silam turut memanggul senapan untuk melawan serdadu Jepang dan Belanda itu senampak kelelawar kesiangan. Terbang kesana kemari. Mencari lubang langit yang menjadi pintu menuju surga.

Tanpa mengerdipkan mata, Sangli terus menatap bayangan Dibya sebelum lenyap ditelan awan tipis. Keriput pipinya semakin basah air mata. Perasaannya sangat iba pada Dibya yang belum mendapatkan jalan ke surga karena masih menanggung beban di dunia. Dumadi alias Andi Azis anaknya yang dilahirkan limapuluh dua tahun silam bukannya menjadi seorang tentara, melainkan menjadi teroris negara. Mengebom kota demi kota hingga tertangkap oleh pasukan anti teroris dan berakhir dijebloskan ke dalam penjara.

Sangli menundukkan wajah, hingga air matanya bertetesan di kebaya luriknya. Dengan langkah gontai, Sangli memasuki rumah bersama Badrul. Putra semata wayang Dumadi yang sekian lama ditinggal minggat Marni ibunya. Kepergian Marni yang tak diketahui rimbanya itu karena tak segaris dengan pemahaman Dumadi dalam soal kepercayaan.

Di kursi kayu sudut ruang tamu, Sangli duduk sambil merenungi nasibnya yang tak semujur sebagaimana dibayangkan sejak menikah dengan Dibya. Seorang pejuang yang kemudian mendapatkan pangkat sersan mayor, namun akhirnya tewas di tepi sungai sesudah didakwa sebagai pemberontak negera. Sejak kematian Dibya itulah, Sangli menjadi single parent yang harus membanting tulang sebagai buruh gendong di pasar untuk menghidupi dan membiayai sekolah Dumadi.

Hati Sangli serasa disayat-sayat ribuan silet, sewaktu mengenang nasib buruknya yang sejak masa silam hingga sekarang tak pernah berubah. Terlebih sawaktu ia memikirkan Dumadi yang terbukti sebagai pelaku pengeboman hotel bintang lima di ibukota itu akan dieksekusi mati bersama tiga teroris dan lima pengedar narkoba di Pulau Kematian.

"Kenapa Nenek tampak sangat sedih?" Badrul memecah suasana senyap di dalam ruang tamu. "Jangan bersedih, Nek! Aku jadi ikut sedih."

Sangli mengusap air mata yang masih membasahi keriput pipinya. Memaksakan senyuman hambar untuk mengelabui perasaan dukanya kepada Badrul. Cucu satu-satunya yang membuatnya masih ingin memertahankan hidup di tengah penderitaan batinnya.

"Kenapa Nenek tak menjawab pertanyaanku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun