Sudah berhari-hari, Cakradimeja merambah hutan Donan. Tubuhnya yang penuh luka karena goresan ribuan duri tidak dirasakan. Kedua kakinya yang memar kebiruan berdarah tidak dipedulikan. Dalam hatinya berkata, lebih baik mati kalau tidak dapat menemukan tempat yang ditumbuhi tanaman bunga wijayakusuma. Tempat yang pernah dirambah Pranantaka. Pemetik bunga wijayakusuma untuk dipersembahkan pada Raden Mas Rahmat. Penguasa pertama Kasunanan Kartasura.
Selagi bersandar pada pohon jati untuk melepas lelah, Cakradimeja samar-samar menyaksikan tanaman bunga wijayakusuma di tepi lempengan batu yang memancarkan air. Sontak ia merasa kelelahannya terobati. Dengan langkah pasti, ia menuju lempengan batu itu. Sesudah bersuci, ia bersamadi dengan sikap bunga padma. Mengatur masuk-keluarnya napas lewat lubang hidung dan mulut. Menutup panca indera. Tiada yang dicium, dikecap, dilihat, didengar, dan dirasa. Tiada yang tampak, selain cahaya sesiung bawang. Berpijar melampaui cerlang bintang di titik antara kedua alis.
Malam pada hari ke tujuh, tampak cahaya biru keluar dari ubun kepala Cakradimeja. Di mata Singawedana, Dipayuda, dan Singayuda yang tengah mengamati samadi Cakradimeja dari kejauhan; cahaya biru itu kemudian bertarung melawan cahaya merah di angkasa. Menurut Singawedana, cahaya merah itu adalah roh Semarabumi. Danyang sakti hutan Donan.
Pertarungan cahaya biru dan merah sungguh setanding. Sekian lama pertarungan berlangsung belum ada yang dapat diterka sebagai pemenangnya. Sungguh Dipayuda dan Singayuda sangat cemas melihat pertarungan itu. Namun Singawedana tampak yakin, kalau cahaya biru akan tampil sebagai pemenang. Air dapat memadamkan api. Sebagaimana, Arjuna putra Indra dapat menaklukkan Karna putra Surya di padang Kurusetra.
Benar apa yang diyakini Singawedana. Cahaya merah yang berkobar serupa teluh braja itu kian lama kian terkikis oleh cahaya biru. Tidak seberapa lama, cahaya merah sirna dari pandangan mata. Sebelum fajar menyingsing, terdengar suara lantang Semarabumi hingga menggetarkan langit. "Aku menyerah padamu Cakradimeja. Sebagai tanda penyerahan, aku akan mengerahkan pasukanku untuk membantumu. Membuka hutan Donan."
Lega hati Singawedana. Lega hati Dipayuda dan Singayuda. Mereka merasa kebahagiaan yang tiada hingga, ketika Cakradimeja dapat memetik hasil dari samadinya. Tanpa menunggu terbit matahari, mereka kembali ke gubug. Sebelum sampai tujuan, mereka terperangah saat menyaksikan pohon-pohon bertumbangan. Tersapu amuk angin.
"Bencana! Bencana!" Dipayuda dan Singayuda berseru serempak. "Lari! Menghindar! Menyelamatkan diri!"
"He..., he..., he...." Singawedana tertawa kecil. "Tidak perlu Dipayuda! Tidak usah Singayuda! Ini pertanda baik. Semarabumi telah menunaikan janjinya. Membantu Nakmas Cakradimeja dengan mengerahkan pasukannya untuk menumbangkan pohon-pohon."
Mendengar jawaban Singawedana, Dipayuda dan Singayuda memupus niatnya untuk mengambil langkah seribu. Namun, keduanya tetap berlindung di balik punggung Singawedana dan Cakradimeja. Hati mereka baru merasa tentram saat angin mereda bersama tumbangnya pohon-pohon. Mereka takjub. Seusai hutan Donan terbuka, tampaklah gubug yang semula mereka tempati berubah menjadi bangunan semegah ndalem katumenggungan Cakrawedanan.
Tidak hanya Dipayuda, Singayuda, dan Singawedana; Cakradimeja pun tidak percaya betapa besar anugerah Tuhan yang diterimanya pagi itu. Anugerah yang menyerupai matahari emas di langit lepas. Sinarnya memancar ke seluruh tlatah Donan yang kelak menjadi pedukuhan sejahtera. Pedukuhan yang ketersohorannya menggema hingga seluruh penjuru mata angin. Pedukuhan asri yang pantas dicatat dalam cerita tutur negeri ini.
Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini: