Banyak orang tua mengeluhkan anak-anaknya yang tidak bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar. Baik, secara tutur kata dan etika di dalam mengomunikasikannya dengan lawan bicara. Benar, secara tata bahasa yang dibakukan oleh para leluhur (pewaris) bahasa Jawa.
Dalam hal ini, seyogianya kita tidak segera menyalahkan pihak orang tua, sekolah, dan terlebih anak-anak. Akan tetapi, introspeksi merupakan salah satu langkah bijak di dalam membimbing anak-anak untuk gemar menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi yang baik dan benar.
Terdapat dua langkah cerdas yang harus ditempuh oleh pihak orang tua di dalam memberikan bimbingan kepada anak-anak agar gemar menggunakan bahasa Jawa, yakni: pertama, orang tua seyogianya tidak teramat bangga untuk mengenalkan bahasa Indonesia semata kepada anak-anak yang tinggal di lingkungan pergaulan masyarakat Jawa. Bahasa kedua yang seharusnya diajarkan sesudah anak-anak menguasai bahasa daerahnya.
Kedua, orang tua seyogianya menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar di dalam mengenalkan bahasa leluhurnya itu kepada anak-anak. Kalau langkah ini tidak ditempuh, jangan disalahkan apabila anak-anak akan menjadi generasi penerus yang asing dengan bahasa Jawa.
Di dalam membimbing anak-anak agar gemar menggunakan bahasa Jawa seharusnya tidak menunggu mereka sampai dewasa. Bimbingan tersebut hendaklah dimulai sejak anak-anak berusia antara 0-3 tahun. Karena menurut Masaru Ibuka dalam bukunya Kindergarten is Too Late, sel-sel otak manusia mulai berkembang 80 % selama tiga tahun pertama paska kelahiran. Pada usia ini, anak-anak memiliki daya serap cukup tinggi atas stimulasi dari luar.
Pengenalan sastra Jawa kepada anak-anak yang dilakukan oleh pihak sekolah seharusnya ditangani para tenaga ahli, semisal: sastrawan dan ahli sastra Jawa. Sehingga upaya tersebut dapat memberikan kemampauan bagi anak-anak yang mencakup teknik dan praktik penciptaan karya sastra Jawa, seperti geguritan atau cerkak (cerita cekak) sederhana.
Meskipun demikian hal yang perlu diperhatikan, bahwa upaya tersebut harus diselaraskan dengan pengetahuan empirik anak-anak yang meliputi: pengalaman bermain dengan kawan-kawan sebayanya, mengunjungi Taman Pintar atau tempat-tempat wisata, dan sebagainya.
Apabila pengenalan bahasa dan sastra Jawa kepada anak-anak telah dilakukan oleh pihak orang tua dan sekolah, maka bahasa dan sastra Jawa akan mengalami kegairahan kehidupannya kembali. Banyak ahli bahasa dan sastrawan Jawa akan dilahirkan. Alhasil, media berbahasa Jawa yang semakin terterpuruk nasibnya akan kembali mengalami kebangkitan.