Sudah lama ayah Sukarti meninggal lantaran sakit yang tak tersembuhkan. Bila mengenang nasib buruk ayahnya, Sukarti yang hanya tamatan SD itu selalu meneteskan air mata. Sebagaimana Darsini emaknya yang hanya buruh gendong, Sukarti yang kesehariannya bekerja sebagai tukang cuci itu hanya sanggup mengobatkan ayahnya ke puskesmas setempat seminggu sekali.
Beban hidup Sukarti semakin berat sepeninggal ayahnya. Bila dijumlahkan, penghasilan Sukarti dan emaknya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Upah per bulannya hanya habis digunakan untuk membayar kontrakan rumah, tagihan listrik, membeli gas, berbelanja sayuran dan beras yang harganya kian membumbung.
Sejak bayi, Sukarti hidup dalam kemelaratan. Karena kemelarannya itu, mendiang ayahnya pernah meminta Darsini untuk menghanyutkan bayi merah Sukarti ke sungai. Karena cintanya pada bayi itu, Darsini tak terpengaruh oleh hasutan iblis yang bersarang di benak suaminya.
Karena tak pernah memiliki uang banyak, Sukarti gagal melanjutkan pendidikan SMP-nya. Sewaktu SD, Sukarti terpaksa membeayai sekolahnya sendiri dengan mengamen di perempatan jalan dari lepas siang hingga ambang senja. Bermodalkan tamborin bekas dan suara fals.
Melihat Sukarti kecil dikaruniai wajah manis dan tubuhnya yang bersih, banyak pengguna jalan iba kepadanya. Hingga penghasilannya sebulan dalam mengamen bisa untuk melunasi SPP per bulannya, seragam sekolah dan olahraga, sepatu, buku pelajaran, serta alat tulis.
Sepeninggal ayahnya, Sukarti yang semakin terpuruk hidupnya itu berniat menyabung nasib di kota lain. Bukan bekerja di toko, pabrik, dan apalagi perkantoran. Sukarti berniat berkerja sebagai wanita penghibur di lokalisasi liar dekat pantai. Dengan pekerjaan itu, Sukarti berpikir akan dapat mengumpulkan uang sejuta per malam. Namun niat itu diurungkan, sesudah Sukarti mendengar kotbah Abah Salim. "Melacur itu pekerjaan terhina di hadapan Allah. Pada hari pengadilan; wanita itu akan dicambuk api oleh seribu malaikat. Tubuhnya serupa pohon kelapa yang tersambar petir musim kesembilan. Terbakar, koyak-moyak."
Sejak mendengar kotbah Abah Salim, Sukarti berniat mencari nafkah dengan cara khalal. Menekuni pekerjaan baru sebagai tukang cuci. Mendatangi rumah demi rumah di kawasan perumahan elite untuk menawarkan jasanya. Namun dari usaha jasanya itu hanya cukup memenuhi kebutuhan dapur. Karena, sebagian besar penghuni perumahan elite itu sudah memiliki pembantu yang bekerja rangkap. Memasak, mengepel lantai, mencuci dan menyeterika pakaian, dan terkadang sebagai kawan tidur tuan lakinya ketika sang istri bepergian lama.
***
Sepulang dari rumah Tuan Dicco, wajah Sukarti berbunga-bunga. Lantaran lelaki berkulit bule yang baru sebulan menempati salah satu rumah berlantai tiga di perumahan elit itu memberikan upah duapuluh kali lipat pada Sukarti atas jasanya. Dengan membawa pulang uang dua juta, Sukarti membeli ayam potong. Digoreng dan disantap bersama emaknya saat makan malam.
"Uang dari mana, kau dapat membeli ayam potong?" tanya Darsini pada Sukarti sambil mengunyah daging paha di ruang makan sederhana. "Bukan dari uang kharam kan, Nduk?"
"Sejak kapan anakmu ini memperoleh uang dengan cara kharam, Mak?" Sukarti meneguk segelas air putih sesudah menghabiskan makan malamnya. "Berkat kemurahan hati Tuan Dicco, kita dapat menikmati ayam goreng. Bahkan sebulan lagi, kita akan dapat makan dengan lauk daging. Karena mulai besok pagi, Tuan Dicco akan mengangkatku sebagai karyawatinya. Mengantar paket barang-barang elektronik dengan gaji lumayan besar. Sepuluh juta per bulan."
"Syukurlah, Nduk. Tuhan mengabulkan doa kita!" Wajah Darsini menyemburat jingga. "Oh, ya. Kalau boleh tahu siapakah Tuan Dicco itu?"
"Yang aku tahu, Tuan Dicco adalah orang terkaya yang belum lama tinggal di perumahan elite itu," jawab Sukarti dengan wajah berbunga-bunga. "Karenanya, Mak. Mulai besok pagi, Mak tak perlu bekerja lagi sebagai kuli gendong di pasar. Biarlah aku sendiri yang harus banting tulang."
Mendengar penuturan Sukarti, Darsini merasakan kebahagiaan mengalir bersama darah di sekujur tubuhnya. Sungguh! Pada malam itu, Darsini sangat bangga atas perjuangan anaknya. Perjuangan panjang yang sebentar lagi akan membawa hasil gemilang.
***
Pagi yang cerah. Sukarti mengayunkan langkah kaki menuju rumah Tuan Dicco. Setiba di tujuan, Tuan Dicco memberikan seragam kerja pada Sukarti. Sesudah memasukkan kotak-kotak kardus yang diambil dari gudang bawah tanah rumah Tuan Dicco ke dalam mobil boks, Sukarti memasuki mobil itu. Duduk di jok depan di samping sopir. Perlahan-lahan, mobil itu meninggalkan halaman rumah Tuan Dicco. Merayap di jalan raya yang padat.
Baru saja melintasi batas kota, mobil boks yang ditumpangi Sukarti itu dihadang tiga mobil patroli. Sebagaimana Sukarti, sopir mobil boks itu tersentak. Manakala duabelas polisi yang keluar serempak dari ketiga mobil patroli itu menodongkan moncong senapan ke arah wajahnya.
"Keluar!" Salah seorang polisi bertubuh kekar memerintah Sukarti dan sopir untuk keluar dari mobil boks. "Angkat tangan!"
Sesudah mendapatkan kontaknya, polisi lainnya membuka pintu belakang mobil boks. Beserta enam polisi, polisi itu mengeluarkan seluruh kotak kardus dari mobil boks. Memeriksa isinya. Tak hanya sopir itu, Sukarti pun terkejut. Manakala mengetahui bahwa salah satu kotak kardus itu berisi sabu. Di mata Sukarti, langit cerah siang itu sontak kelam. Langit serasa akan runtuh. Menguburkannya hidup-hidup.
***
Di dalam sel penjara yang pengap, Sukarti tak dapat tidur nyenyak tak dapat makan enak. Terlebih ketika pengadilan negara menjatuhkan hukuman mati kepada Sukarti. Perempuan lugu yang terperosok ke dasar jurang petaka, demi membahagiakan Darsini. Emak tercintanya yang tak pernah merasakan kebahagian sepanjang hidupnya.
Sehari menjelang eksekusi mati, Sukarti beserta sang sopir dipindahkan dari lapas pinggiran kota ke lapas Pulau Keramat. Di pulau itu, tak ada yang diminta Sukarti pada pengadil negara, selain bertemu dengan Darsini. Namun, permintaan itu tak dikabulkan. Lantaran Darsini telah bunuh diri, sesudah mengetahui lewat berita televisi bahwa Sukarti akan dieksekusi mati.
Hari 'H' eksekusi mati telah tiba. Beserta enam pesakitan lainnya, Sukarti yang kedua matanya tertutup kain hitam itu digiring oleh tujuh penembak jitu ke lapangan. Pada hitungan satu, jantung Sukarti berdegup kencang. Pada hitungan dua, darah dan napas Sukarti serasa mendadak berhenti mengalir. Pada hitungan tiga, Sukarti terkapar di tanah seusai suara tembakan serempak. Bagai cacing yang berkelojotan di bawah terik matahari, Sukarti berjuang melawan maut.
Suasana senyap. Sukarti berakhir pasrah pada kuasa maut yang akan merenggut nyawanya. Betapa ajaib! Di balik kepasrahannya itu, Sukarti menangkap cahaya Tuhan yang memberikan jalan ke surga. Bersama nyawa Sukarti yang melesat dari lubang dada akibat tembusan timah panas, ketujuh penembak jitu itu terperangah. Manakala mereka menyaksikan seekor merpati putih terbang ke arah lubang hitam langit yang terbuka seperti pintu surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H