Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi tentang Banyuwangi

2 Maret 2018   03:34 Diperbarui: 2 Maret 2018   05:12 3006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

TAMAN SRITANJUNG DALAM KENANGAN

Pagi masih menyisakan embun pada rerumputan. Ketika kau hendak meninggalkan taman Sritanjung. Lantaran putus asa, seusai berulang kali gagal mempuisikan ma'rifat cinta dari kekasihmu yang tertoreh di ujung keris berluk sembilan. Hingga, kau menjadi setolol Sidapaksa. Betapa gagap! Saat kau memaknai energi darah yang mewangikan seluruh air telaga.

Seperti seekor kekupu yang terbang dengan gerakan sayap-sayap lunglai, kau tinggalkan taman Sritanjung. Seusai bunga-bunga yang dimekarkan oleh tangkai cinta hanya menjanjikan wanginya di penghujung mimpi. Tak pernah terasakan lagi, saat kau menghabiskan malam panjang di losmen pinggir jalan. Bersama kekasihmu. Kenangan lama yang telah gagal diabadikan ke dalam puisi.   

PELABUHAN KETAPANG PAGI HARI

Laut tidak sedang bertenaga pagi ini. Serupa lelaki bongkok yang semalam tak kuasa menggedeburkan gelombang berahinya ke batas pantai. Hingga isterinya yang masih pelabuhan terbuka bagi kapal terbesar hanya menghabiskan sisa malam dengan selimut kabut.

Matahari di timur masih semerah kemarin, tapi tak sanggup membakar bekuan karang. Kapal-kapal masih seperti dulu, tapi tak sanggup membelah lautan. "Hah!" Lelaki bongkok menghentakkan napas. Teringat sewaktu muda, melempar sauh di depan isterinya hanya dengan satu tangan.

Lesu angin, satu-satunya harapan yang tersisa dari lelaki bongkok. Barangkali di ambang senja nanti, kapal tua kembali dapat diderukan mesinnya. Buat mengarungi lautan bersama isterinya

MENYAKSIKAN TARI KUNTULAN

 Rebana menghentak-hentak. Tembang yang dilantunkan oleh seorang sinden semagis mantram pengundang roh dari negeri paling gaib. Roh yang menyerupai sekawanan kuntul berbulu kapas. Merasuk ke dalam setiap jiwa sehampa ruangan gua di kaki gunung Somawana. Sekelam kejahiliyahan Rahwana yang mengkhalalkan segala cara dengan atas nama cinta.

 Penari-penari bergerak seiraman tepak kendang yang berujung pada gaung gong. Membentuk lingkaran seperti sekawanan kuntul yang menggantang harap di langit terpuncak. Tentang berulangnya kejayaan Ayodia ketika zaman Semar. Di mana kawula dan gusti serupa sepengantin zin-yang. Sebelum dinodai Shinta yang menggadaikan cinta Rama ke Alengka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun