Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Sejarah Perpuisian di Yogyakarta

28 Februari 2018   23:10 Diperbarui: 28 Februari 2018   23:20 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paska tahun 2000 seusai HISMI berangsur-angsur tidak menggeliatkan aktivitasnya, persoalan regenerasi penyair di Yogyakarta tampak muncul di permukaan. Sehingga nama-nama semisal Hasta Indriyana, Pay Jarot Sujarwo, Abror Y Prabowo, Y Wibowo, Sriyono Daningrono, Bambang Susilo dkk harus meluangkan waktu buat ngangsu kawruh (menimba pengetahuan) kepada para suhu puisi (semisal, Iman Budhi Santosa) yang masih produktif.

Upaya dari para penyair muda di dalam melakukan interaksi kreatif di bidang penciptaan puisi tersebut merupakan langkah taktis untuk meningkatkan kualitas karya-karyanya. Agar eksistensi kepenyairannya tidak disangsikan lagi sebagaimana para generasi penyair sebelumnya, seperti: Raudal Tanjung Banua, Satmoko Budi Santoso, Aning Ayu Kusuma, Edi AH Iyubenu, Ita Dian Novita, Zainal Arifin Thoha, Kuswaidi Syafi'ie, Akhmad Muhaimin Azzet, Teguh Winarsho AS, Abdul Azis Sukarno, dll.

Paparan di muka seyogianya ditangkap sebagai bahan pemikiran tentang masa depan perpuisian di Yogyakarta yang nasibnya sangat tergantung pada sikap generasi penyair selanjutnya. Mengingat jika puisi diibaratkan kereta, para penyair muda harus mampu menjawab buat apa dan untuk siapa puisi diciptakan, serta melalui jalan mana dan ke mana puisi diarahkan? Persoalan ini harus dijawab terlebih dulu. Agar penyair tidak diasumsikan dengan membangun rumah mimpi yang sekadar membawa kehidupan riil jauh dari bumi pijakan.

Dengan memahami konsepsi dan motivasi di dalam penciptaan puisi, para penyair muda akan mampu membangun image bahwa masa depan perpuisian di Yogyakarta akan semakin membaik. Di mana para penyair arif dan rendah hati bakal dilahirkan. Sekelompok insan yang selalu memosisikan puisi sebagai media pembelajaran hidup. Hingga mereka serupa suhu bagi dirinya sendiri. Bukan pendekar di dunia persilatan yang menganggap pihak berseberangan sebagai lawan bebuyutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun