Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Potret Wanita versi Sosok di Balik "Pengakuan Pariyem"

26 Februari 2018   01:47 Diperbarui: 26 Februari 2018   02:41 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi publik sastra Indonesia, siapa yang tidak mengenal Linus Suryadi Ag. Pria yang lahir di Sleman pada 3 Maret 1951 dan meninggal pada 30 Juli 1999 tersebut lebih dikenal sebagai penyair lirik. Pendapat ini berpijak pada puisi-puisi liriknya yang terkumpul di dalam antologi tunggalnya, antara lain: Rumah Panggung (Nusa Indah, Ende-Flores, 1986) dan Kembang Tanjung (Nusa Indah, Ende Flores, 1988).

b3-2013-07-20-puisi-linus-suryadi-ag-tonggak-1-5a9302abdd0fa8218b3d35b4.jpg
b3-2013-07-20-puisi-linus-suryadi-ag-tonggak-1-5a9302abdd0fa8218b3d35b4.jpg
Selain berhelat dengan puisi, penyair yang mengeditori Antologi Puisi 32 Penyair Yogyakarta Tugu' (DKY dan Barata Offset, 1986) dan Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak jilid 1-4 (Gramedia, Jakarta 1987) tersebut, banyak berhelat dengan karya esai, antara lain: Regol Megal-Megol (Andi Offset, Yogyakarta 1992), Napas Budaya Yogya (Bentang Budaya Yogyakarta, 1994), Dari Pujangga dan Penulis Jawa (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1995), dan lain-lain.

Saya tidak dapat menolak persepsi publik sastra, bahwa prosa lirik Pengakuan Pariyem (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1981) merupakan karya masterpiece-nya. Hingga karya tersebut dibahasa-Belandakan dalam De Bekentenk van Pariyem oleh Marjanne Fermorhuizen (Manuc Amici. Amsterdam, Belanda 1985). Atas dukungan UNESCO, karya tersebut pula dibahasa-Peranciskan dalam Les Confession de Pariyem oleh Dr. Henri Chambert-Loir, serta dibahasa-Inggriskan dalam Pariyem's Confession oleh Mary-Lindsay.

ensiklopedia.kemdikbud.go.id
ensiklopedia.kemdikbud.go.id
Melalui Pengakuan Pariyem, saya menangkap bahwa Linus memiliki perhatian besar terhadap kehidupan wanita. Pendapat ini berdasarkan pada karya-karya puisinya yang memotret kehidupan wanita. Bukan hanya wanita dari kelas menengah atau elite, melainkan daru kelas bawah dengan berbagai profesinya.

Banowati, Potret Buram Kehidupan Asmara Wanita

Dewi Banowati dalam jagad pakeliran merupakan putri ke tiga Prabu Salya (Narasoma) yang lahir dari rahim Dewi Setyawati. Kisah cinta asmara Banowati tidak sesederhana kisah cinta asmara kedua kakak perempuannya, Dewi Erawati (permaisuri Prabu Baladewa) dan Dewi Surtikanti (Istri Adipati Karna).

Di satu sisi, perempuan berkarakter kenes itu sebagai permaisuri Prabu Doryudana (Raja Hastina). Namun di sisi lain, Banowati adalah kekasih Arjuna. Ksatria Pandawa yang beristri segudang, semisal: Dewi Subadra, Dewi Srikandi, Dewi Larasati, Dewi Supraba dll.

goodreads.com
goodreads.com
Kisah cinta asmara Banowati sangat kontekstual dengan zamannya. Di mana perselingkuhan yang merupakan pemicu ketidakberesan dalam laju bahtera rumah tangga di abad milenium ini kiranya tidak hanya dilakukan kaum pria (suami) melainkan kaum wanita (istri). 

Hal ini dilukiskan Linus ke dalam puisi SETYAWATI DI PADANG KURUSETRA (9): BANOWATI: //Banowati, putri kita nomor tiga, Kanda/Yang menjadi permaisuri raja Hastina/Dulu sukar benar ia ngadu pada ibunya/"Tapi rasa ini, ibu, bagaimana saya bisa?"//"Bagaimana saya nglakoni? Hidup tanpa Arjuna/Bagaimana saya meladeni pria tak kucintai?"/Dalam hati bergolak tarik-tambang soal pria/Pasti jiwa kanaknya berontak, menuntun beda//Tangannya ngapu rancang di pangkuan saya/Putri kita yang ceria nangis sesenggukan lama/Akhirnya pilihan bijaksana pun ia terima/"Urung diperistri tak apa, asal kekal kasihnya!"// -- (1986).

Adapun motivasi perselingkuhan cinta asmara Banowati dengan Raden Permadi oleh Linus dilukiskan ke dalam puisi BANOWATI DAN LIMBUK. Motivasi perselingkungah cinta asmara Banowati yang diungkapkan transparan oleh Linus di dalam karya BANOWATI DAN LIMBUK tersebut merefleksikan bahwa sebagian wanita mendambakan pria sempurna yang memiliki harta dan sekaligus cinta. Jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi oleh pasangannya, sebagian wanita acapkali melakukan perselingkuhan dengan pria lain.

Maria Magdalena yang Mendapat Pencerahan Tuhan

Banyak orang tahu, Maria Magdalena adalah pelacur dari Magdala yang menjadi kembang Kota Jerusalem. Sekalipun keharuman bunga kepelacuran-nya tidak tersangsikan lagi, namun Maria Magdalena tetap dianggap sampah. Dia dilaknat hukum Taurat, dihina orang-orang Saduki, digusur orang-orang Farisi, dan dikeloni kaum pendosa.

Kisah tragis pelacur Maria Magdalena yang niscaya mendpatkan perlakuan tidak manusiawi dari masyarakat tersebut telah diabadikan Linus ke dalam MARIA DARI MAGDALA (1) bait pertama -- kedua: //Saya, Maria Magdalena/lonthe//Yang dilaknat oleh Hukum Taurat/yang dihina orang-orang Saduki/yang digusur orang-orang Farisi/yang dikeloni oleh kaum pendosa/tapi tidak berdusta// -- (1985).

Sekalipun di dalam lumpur, emas tetap emas. Predikat pelacur hanya pakaian jasmaniah yang disandang Maria Magdalena. Namun hatinya yang bak emas murni tersebut telah dipenuhi gairah cinta ke-Illahi-an. Cintanya pada Yesus sang pembawa pelita kebenaran di dunia yang diliputi awan pekat tersebut sebagaimana cintanya pada Tuhan. Betapa wajar apabila Linus menggaris-bawahi kebenaran bahwa pelacur yang menyaksikan kebangkitan Yesus tersebut layak mendapatkan pencerahan Tuhan. Lebih jauh tilik puisi MARIA DARI MAGDALA (5) sebagai berikut: //Bunda berpulang/tidaklah sayang /ia sudah anggap/aku putrinya seorang//Murid-muridmu/jeblog nasibnya /hidup diburu-buru/oleh kaum penguasa Roma//Tapi padaku/ada pencerahan/daya hidup/yang menakjubkan!//Terkirim lilin/salam takzim/kepada Bapak/yang Maha Rahim/Biarpun kini/aku sendirian/dan Kau balik/ke alam kemoksan// -- (1985).

Ibu di Desa, Sosok Wanita Berjiwa Ugahari

Kadisobo merupakan desa di wilayah Sleman bagian utara yang masih sejuk dengan udara Merapi tersebut Linus Suryadi dilahirkan, dibesarkan, diasuh, dan tinggal bersama seorang ibu. Dengan demikian, Linus sangat mengenal keugaharian kepribadian ibunya sebagai perempuan desa. 

Perempuan yang memiliki kewajiban untuk belanja di pasar, memasak di dapur buat suami dan anak-anaknya, dan membantu suaminya bertani di sawah tanpa pamrih. Ia pula aktif mengikuti berbagai aktivitas sosial bersama anggota ma-syarakat di desanya, dan akrab dengan budaya warisan leluhurnya.

bekas3.rssing.com
bekas3.rssing.com
Kedekatan Linus dengan ibunya telah dilukiskan transparan melalui puisi IBU DI DESA yang saya kutip lengkap sebagai berikut: 

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia tak bisa ngomong aktif Indonesia. Tapi pasif saja/Tapi budi bahasa Jawa Ngoko dan Krama, jangan Tanya/Ia suka mengaliri sawah seperti juga hidupnya//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia tak pernah lupa kehilangan seorang anaknya/Ia selalu ingat hari lahir dan hari kematiannya/Tapi, ia selalu lupa besar tebusan bagi hidupnya//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa /Ia suka cerita ganas dan rakusnya si Cebol Kepalang/Sebelum 17 Agustus 1945. Harta digarongnya pulang/Ia berjarik dan baju goni dan bagor. Kutunya banyak pula//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia suka berkeluh kesah soal harga panenenannya/Untuk gabah dan palawija. Untuk upacara desa/Tak seimbang dengan ongkos sakit dan sekolah anaknya di kota//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia butuh sandang pangan dan papan secukupnya/Ia butuh kondangan bagi sanak kadangnya/Dan asesori lumrah pacakan dalam pergaulan di desa//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/pada esuk uthuk-uthuk in the morning ia masak/Lepas fajar ia pun berangkar ke sawahnya kerja/Tapi peteng repet-repet in the evening molor di depan tevenya//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia gemar ketoprak, wayang purwa, tarian Jawa/Tapi filem manca tidak."Tak pernah rampung," kritiknya/Ia tak suka teka-teki seperti juga hidupnya//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia pun suka ziarah ke kubur. Nengok bumi leluhur/Kubur bumi lebih mulia ketimbang kubur laut dan api/Ia kirim bunga tanda kasihNya yang abadi//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia suka belanja di pasar Beringharjo di kota/Segala keperluar dapur. Sehabis musim tandur/Dan ia pun rajin menaikkkan beban hidupnya ke surga//.

//Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa/Ia suka berbagi suka-duka dengan para tetangga/Lha iya, ibu saya. Ia selalu butuh ini dan itu juga/Tapi kebutuhannya tak lebih besar dari Ibukota// -- 1993.

Catatan Akhir

Wanita merupakan makhluk Tuhan yang sangat misterius. Semakin dikenal, makhluk yang tercipta dari tulang rusuk Adam tersebut semakin tidak mudah dipahami. Karenanya sebagai penyair, Linus tidak mampu menguraikan secara definitif tentang wanita. Melalui puisi-puisinya, Linus hanya mampu melukiskan perihal wanita dengan berbagai latar belakang dan profesinya. Mengingat wanita serupa kaca prisma yang mampu mengurai satu warna ke dalam aneka warna. Hingga yang diungkapkan lewat mulutnya belum tentu buah pikiran atau perasaannya. Kalau mata diyakini jendela jiwa, barangkali substansi wanita dapat dilihat lewat sana.

Memahami persepsi Linus perihal substansi wanita memang tidak cukup hanya melalui tiga puisi sebagaimana saya kutip di atas. Namun dari ketiga puisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa penilaian terhadap substansi wanita tidak terletak pada sisi fisik, kelas, atau profesi; melainkan kepribadian yang memancar dari relung hatinya. Ini sepaham dengan ide Kartini terhadap perjuangan emansipasi wanita yang sesungguhnya lebih menekankan nilai kepribadian ketimbang penampilan fisik, kelas, atau profesi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun