DI DALAM penciptaan karya seni rupa tidak bisa dilepaskan dengan pengalaman empirik kreatornya. Pengalaman hidup yang dihayati dan diendapkan oleh seorang kreator dapat dijadikan sebagai inspirasi di dalam melahirkan karya-karya monumentalnya. Selama kreator mampu menuangkan pengalamannya tersebut bermodalkan teknik penciptaan yang mumpuni serta berlandaskan cipta, rasa, dan karsanya.
Pemvisualan pengalaman empirik ke dalam karya seni rupa tidak ubah sebagai kerja kreatif perupa. Sehingga pengalaman tersebut tidak hanya tersimpan di dalam lubuk hati kreator, melainkan tercurahkan sebagai medium refleksi kontemplatif bagi apresian khususnya, dan publik umumnya.
Teryakini bahwa seluruh perupa potensial niscaya memosisikan pengalaman empirik sebagai sumber inspirasi di dalam kerja kreatifnya. Demikian pula, perupa Bunga Jeruk Permata Pekerti.Â
Salah seorang perupa wanita kelahiran Solo 1972 yang tinggal di Yogyakarta tesebut telah menjadikan pengalaman empiriknya sebagai sumber inspirasi di dalam menciptakan karya-karyanya baik seni lukis, patung, instalasi, maupun craft. Lebih jauh, kita akan membaca pengalaman empirik Bunga Jeruk melalui bahasa seni rupanya yang terekspresikan pada beberapa karyanya.
Kemiskinan Mengajarkan tetap Survive
Bunga Juruk, demikian panggilan akrabnya. Dia pernah mengenyam pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Banyak terlibat di berbagai event pameran seni rupa di Yogyakarta, Jakarta, Magelang, Semarang, Surabaya, Makassar, Singapura, Jepang, Austria, atau Jerman tersebut ternyata memiliki pengalaman empirik yang pahit di masa kecilnya.
Namun, pengalaman yang mampu diabadikan di dalam buku otobiografinya Bunga Jeruk Living Colors tersebut menunjukkan bahwa dia yang pernah berhelat dalam peliknya kehidupan bersama Omi Intan Naomi (kakak), Noel Susenowati (ibu), dan RAy Harmini Soemaatmadja (nenek) tersebut telah mampu dijadikan guru yang memicu spirit kreatifnya di kemudian hari. Sehingga karya-karyanya yang merefleksikan pengalaman pahitnya dapat ditilik pada Sadness (oil on canvas, 1998); Mealting Heart (watercolor on paper, 1995), dan Grateful Dead (1994).
Realitas pengalaman pahit dalam ekonomi tersebut justru memicu obsesi Bunga Jerus atas nasib kehidupannya yang membaik. Memiliki rumah sendiri, TV warna, boneka-boneka, dan mampu menghidupi kucing-kucing kesayangannya. Secara transparan bahwa kemiskinan telah mengajarkannya untuk tetap survive dengan peluhnya sendiri. Tidak tergantung pada orang lain, keluarga, dan bahkan suaminya. Baginya, semua itu merupakan kunci menuju panti kebahagiaan. Tilik karyanya yang bertajuk Keluarga Bahagia (watercolor, 1995).
Hal yang layak dipetik dari pengalaman tersebut adalah spirit hidup senasib sepenanggungan keluarga Bunga Jeruk di dalam mengahadapi nasib buruk kehidupannya. Spirit positif yang memekarkan cinta kasihnya pada keluarga dan binatang-binatang piaraannya. Cinta kasihnya, terutama pada eyangnya tersebut diekspresikan pada karya yang bertajuk Eyang Mendengarkan Radio (watercolor, 1994); Eyang Melihat Wayang Kulit di Teve (gouache on paper, 1994); Grandma (oil in canvas, 1998); dan Teringat Eyang (oil on canvas, 2000).Â
Sementara itu, kecintaam Bunga Jeruk pada seekor kucing dan binatang lainnya yakni anjing dapat dihampiri pada beberapa karyanya yang bertajuk Hideway (2001/2002), Forced Cutie (2000), dan My Cate Mia & amp; David (2001). Demikian pula pada karya instalasinya yang bertajuk Things Will Happen When They Are Ready (akrilik di atas kertas dan fiberglass, 2002-2003).Â
Persoalan Gender